Menyambut Hari Raya Idul Fitri, Ini Syarat Bermaaf-maafan

Dalam tradisi silaturahmi, menuntut umat muslim untuk saling memaafkan. Apa syarat saling memafkan.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Mei 2021, 18:05 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2021, 18:05 WIB
Ilustrasi bersalaman
Ilustrasi bersalaman (Dok.Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Saat Hari Raya atau Lebaran Idul Fitri terdapat sejumlah tradisi yang dilaksanakan Umat Islam. Tradisi itu diantaranya saling bersilaturahmi.

Dalam hal ini, bersilaturahmi tak hanya dilakukan dengan cara mengunjungi keluarga, sanak saudara, dan kerabat, namun juga dilakukan dengan cara saling memaafkan. Hal itu karena sebagai manusia pastinya tak luput dari salah dan dosa.

Dengan kata lain, dalam tradisi silaturahmi ini menuntut umat muslim untuk saling memaafkan.

Melansir dari nu.or.id, Pakar Tafsir Al-Qur’an Muhammad Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1999), memberikan penjelasan terkait dengan sikap yang perlu dilakukan manusia dalam menghadapi seseorang yang melakukan kesalahan.

Seorang Muslim yang bertakwa dituntut atau dianjurkan untuk mengambil paling tidak satu dari tiga sikap dari seseorang yang melakukan kekeliruan terhadapnya, yaitu menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik terhadapnya. Hal ini sesuai dengan Q.S Ali Imran ayat 134 yang artinya,

“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS Ali Imran: 134).

Lain halnya ketika seseorang yang menekadkan diri untuk tidak berbuat baik kepada yang berbuat salah kepadanya. Bahkan, ia berani bersumpah untuk tidak berbuat baik terhadap seseorang yang melakukan kesalahan kepadanya.

Maka Al-Qur’an menganjurkan agar ia memaafkan dan melakukan apa yang diistilahkan oleh Al-Qur’an dengan al-shafeh. Hal ini seperti yang diterangkan dalam Surat An-Nur ayat 22 yang artinya,

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS An-Nur: 22)

 

Makna Maaf Sebenarnya

Sementara itu, dari kedua ayat yang dikutip di atas, dapat dipahami bahwa sebenarnya ada tingkatan yang lebih tinggi daripada sekadar memberi dan meminta maaf. Hal tersebut akan terlihat jelas ketika seseorang memahami apa itu istilah maaf.

Kata maaf sendiri berasal dari Al-Qur’an, yaitu al-afwu yang berarti menghapus, karena yang memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Dengan kata lain, bukan memaafkan namanya jika masih tersisa bekas luka di hati dan jika masih ada dendam yang membara dalam hatinya. Boleh jadi ketika itu apa yang dilakukannya baru sampai pada tahap menahan amarah.

Artinya, jika manusia mampu berusaha menghilangkan segala noda atau bekas luka di hatinya, maka dia baru bisa dikatakan telah memaafkan orang lain atas kesalahannya.

Menyesali Perbuatan Sebelum Memohon Maaf

Oleh karena itu, syariat secara prinsip mengajarkan bahwa seseorang yang memohon maaf atas kesalahnnya kepada orang lain agar terlebih dahulu menyesali perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memohon maaf sambil mengembalikan hak yang pernah diambilnya.

Kalau berupa materi, maka materinya dikembalikan, dan kalau bukan materi, maka kesalahan yang dilakukan itu dijelaskan kepada yang dimohonkan maafnya.

Keterangan di atas juga menjadi syarat bertaubat seorang hamba kepada Tuhannya. Taubat menuntut penyesalan yang mendalam atas segala salah, khilaf, dan dosa yang diperbuat seorang hamba.

Karena itu, Esensi taubat juga bukan hanya satu arah saja, yakni hubungannya dengan Tuhan, tetapi juga mengubah perilaku sosialnya di tengah masyarakat menjadi laku yang positif.

(Dinda Permata)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya