Makna Aksi Tutup Mulut Pemain Timnas Jerman, Bagaimana Pandangan Islam Terkait LGBT?

Aksi tutup mulut pemain Timnas Jerman sebelum berlaga melawan Timnas Jepang

oleh Muhamad Husni TamamiLiputan6.com diperbarui 26 Nov 2022, 08:30 WIB
Diterbitkan 26 Nov 2022, 08:30 WIB
Jerman - Piala Dunia 2022 - 23 November 2022
Para pemain Jerman menutupi mulut mereka saat berpose untuk foto penyisihan Grup E Piala Dunia 2022 melawan Jepang di Stadion Internasional Khalifa, Doha, Qatar, Rabu, 23 November 2022. (AP Photo/Ricardo mazalan)

Liputan6.com, Jakarta - Piala Dunia 2022 masih berlangsung hingga sekarang. Pertandingan Jerman kontra Jepang menjadi salah satu laga yang banyak dinantikan oleh para pecinta sepakbola dunia. Pertandingan berakhir dengan skor 1:2 di mana Jerman harus mengakui keunggulan permainan tim negeri sakura ini.  

Namun, ternyata ada hal lain yang menjadi sorotan usai berlangsungnya laga tersebut. Siapa sangka sebuah unggahan foto memperlihatkan bagaimana para pemain Jerman berpose mengangkat tangan sambil menutupi mulut mereka sebelum pertandingan berlangsung di Stadion Internasional Khalifa pada rabu malam, 23 november 2022.

Dilansir dari Channel Youtube Footiz disebutkan bahwa aksi  yang dilakukan oleh para pemain Jerman merupakan bentuk protes mereka terhadap FIFA, karena melarang penggunaan ban kapten "One love" dengan simbol LGBT

Melihat apa yang dilakukan para pemain Jerman mengundang banyak komentar dari beberapa tokoh sepak bola salah satunya tanggapan oleh Granit Xhaka Timnas Swiss. Menurut nya semua orang harus mengikuti aturan dan fokus pada permainan sepak bola bukan malah fokus ke hal lainnya. 

"Saya tidak berpikir kita harus melakukan apapun sebagai Timnas Swiss. Kami harus menghormati aturan dan fokus pada sepak bola, hanya itu yang saya rencanakan" ungkapnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan ini:


Pandangan Islam Terkait LGBT

Sementara Islam sendiri melarang keras LGBT. Bahkan banyak ulama di Indonesia menolak terjadinya perilaku menyimpang ini di ruang lingkup masyarakat. Penolakan ini bukan tidak beralasan melainkan perintah atau larangan yang sudah dijelaskan dalam Alquran dan hadits. 

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, Rasulullah SAW bersabda.

“Jika umatku telah menghalalkan lima hal, mereka akan mendapat kebinasaan: (1) jika sikap saling melaknat (dan mencela) telah tampak (dan tersebar), (2) meminum khamr, (3) para lelaki memakai sutra, (4) banyak memanfaatkan para penyanyi, serta (5) kaum lelaki merasa cukup dengan lelaki dan kaum wanita merasa cukup dengan wanita (merebaknya homoseksual dan lesbian, -pent.).” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 5086)

Sebagai umat Muslim, ketika berbicara mengenai isu LGBT, pasti akan selalu terngiang dengan kisah kaum Nabi Luth AS yang dikenal sebagai kaum penyuka sesama jenis (homoseksual). 

"(Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) ketika dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?” (Q.S. al-A’raf: 80).

 "Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan fahisyah yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu.” (Q.S. al-‘Ankabut : 28).


Ganjaran Bagi Pelaku LGBT Menurut Hukum Islam

Lantas apa ganjaran yang akan diterima bagi pelaku LGBT? Terdapat beberapa pendapat ulama dalam menetapkan jenis hukuman sanksi yang dikenakan kepada pelaku LGBT.

Pendapat pertama, mengatakan bahwa para pelaku homoseks harus dibunuh. Pendapat ini disampaikan oleh sahabat-sahabat Nabi SAW, al-Nashir dan Qasim bin Ibrahim serta Imam Syafi‟i dalam salah satu riwayat mereka berdasarkan hadits riwayat Nasai dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas yang berarti

“Siapa yang kalian temukan melakukan perbuatan seperti perbuatan Kaum Luth (perbuatan homoseksual), maka bunuhlah pelakunya dan pasangannya karena perbuatan itu." (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)

Pendapat kedua dikemukakan oleh Imam al-Syafi'i dalam pendapatnya yang populer menyebutkan bahwa pelaku liwath harus dirajam tanpa membedakan apakah pelakunya itu masih bujangan atau pun sudah menikah.

Pendapat ketiga oleh Imam Abu Hanifah, Mu‟ayyad Billah, dan al-Murtadha, keduanya ahli fikih Syiah dan Imam Syafi‟i dalam riwayat yang lain. Bahwasanya penguasalah yang berhak menetapkan jenis hukumannya, karena perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan ke-dalam perbuatan zina, maka hukumannya tidak dapat disamakan dengan hukuman zina.

Penulis : Putry Damayanty

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya