Liputan6.com, Aceh - Hubungan layaknya ibu dan anak terjalin antara seorang ibu asal Bireuen, Aceh, bernama Mutiawati (32) dengan dua orang bocah Muslim-Rohingya yang sempat menjadi pengungsi di Serambi Makkah.
Cerita dimulai ketika 114 orang etnis Rohingya yang sebelumnya terkatung-katung puluhan hari di atas perahu di tengah lautan terdampar di Aceh, Minggu (6/3/2022).
Baca Juga
Sebuah perahu cukup besar diketahui menepi ke muara Kuala Raja. Otoritas setempat menyatakan kepada media jumlah Muslim-Rohingya yang turun terdiri dari laki-laki sebanyak 58 orang, perempuan 21 orang, dan anak-anak 35 orang.
Advertisement
Desa Kuala Alue Buya Pasie, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, kebetulan jadi lokasi penampungan darurat bagi pengungsi. Mereka ditempatkan di menasah desa selama lebih kurang dua pekan.
Persinggungan perempuan itu dengan para pengungsi dimulai ketika dirinya menggelar lapak jualan di atas becak tepat di seberang menasah. Ia menjual pelbagai makanan ringan serta minuman.
Mutiawati mengaku bahwa barang dagangannya diperuntukkan untuk warga yang waktu itu sering datang melihat para pengungsi. Niat hati, para pengunjung tidak datang hanya dengan tangan kosong, tetapi bisa membawa sesuatu untuk diberikan kepada para pengungsi.
"Saya bilang, 'jangan lihat-lihat saja, belilah sesuatu buat mereka'." begitu seru Mutiawati kepada setiap warga yang datang ke menasah untuk melihat para pengungsi.
Hanya dalam hitungan hari, Mutiawati pun mulai menjalin komunikasi terbatas dengan sejumlah anak pengungsi Rohingya itu. Ia bahkan membawakan mereka makanan dalam setiap kesempatan.
Ketika para pengungsi dipindahkan dari desa itu ke sebuah gedung serba guna milik kecamatan, Mutiawati sempat membelikan empat orang anak pakaian yang jauh lebih layak. Di tempat yang baru itu, para pengungsi tinggal sekitar dua bulanan sebelum akhirnya dipindahkan ke luar Aceh.
Dari beberapa orang anak yang sering ditemuinya, Mutiawati mengaku lebih akrab dengan Hafizullah dan Umar. Kedua anak ini, kata Mutiawati, memanggil dirinya dengan sebutan "ibu".
Hubungan mereka bahkan jauh lebih akrab saat Hafizullah dan Umar pindah ke lokasi penampungan yang berlokasi di kecamatan. Meski harus menempuh waktu lebih kurang 20 menit untuk sampai ke sana, ia amat bersemangat setiap kali waktu berkunjung tiba.
"Saya sering membawa makanan, misalnya mangga, semangka, jus, nasi, pokoknya apa yang mereka mau. Kalau bukan saya yang datang, saya titip sama orang," jelas Mutiawati, ditemui oleh Liputan6.com, di Lhokseumawe, baru-baru ini.
Keluarga Mutiawati sendiri bukanlah orang berada, mereka memusatkan mata pencarian pada berdagang udang. Namun, dia mengaku bahwa ia dan suami tak keberatan dengan tambahan biaya yang mesti dikeluarkan untuk kedua anak tersebut.
Mutiawati ingin memberlakukan Hafizullah dan Umar layaknya anak sendiri. Ia berusaha untuk tidak membeda-bedakan mereka dengan anak sendiri.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Kisah di Bulan Ramadhan
Kebetulan waktu mulai memasuki bulan Ramadhan, dan hampir saban sore Mutiawati mengantarkan takjil untuk kedua anak angkatnya. Baik Hafizullah dan Umar, keduanya amat menyukai semangka segar saat berbuka.
"Pas waktu lebaran saya beli baju baru, celana jin, sendal, dan baju," tutur Mutiawati.
Mutiawati sempat terkekeh sewaktu mengingat ketika Hafizullah hampir saja menangis demi mengetahui bahwa Umar telah dibelikan baju baru sementara dirinya belum.
Waktu itu, Mutiawati terpaksa membelikan baju untuk Hafizullah pada hari selanjutnya karena belum cukup uang. Hafizullah sempat bersungut-sungut waktu itu.
"Hari Jumat saya beli untuk Umar, baru pada hari Sabtu saya beli untuk Hafizullah," kata dia.
Mutiawati ikut merasa bahagia di dalam hati ketika melihat Hafizullah dan Umar girang bukan main karena baju baru pemberiannya.
Kebahagiaannya bertambah berkali-kali lipat ketika kedua anak angkatnya datang ke rumah pada waktu hari raya. Mutiawati terharu karena kedatangan mereka sangat tidak disangka-sangka.
Waktu itu, para pengungsi tidak diizinkan untuk meninggalkan lokasi penampungan demi alasan keamanan. Namun, entah dengan cara apa, siang itu Hafizullah dan Umar berhasil keluar ditemani tiga anak pengungsi lainnya.
Namun, Mutiawati harus berpisah dengan kedua anak angkatnya sejak rombongan pengungsi berangsur-angsur dilangsir ke Pekanbaru, Riau, oleh Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri (PPLN), pada 21 Mei 2022.
Saat itu, sebanyak 119 orang dipindahkan, terdiri dari 95 orang dari kluster pengungsi Bireuen, dan 24 lainnya dari Lhokseumawe.
Mutiawati hanya berdiri mematung beberapa saat lamanya sembari terus meratapi bokong bus yang mengangkut Hafizullah dan Umar.
Ia mengaku sempat sakit selama beberapa hari sejak ditinggalkan oleh kedua anak angkatnya.
Kini, Mutiawati dan kedua anak angkatnya terhubung via panggilan WhatsApp. Liputan6.com pun sempat menghubungi Hafizullah.
Bocah berumur 13 tahun membenarkan semua cerita Mutiawati. Ia bisa berbahasa Indonesia dan Inggris meski terbata-bata.
Hafizullah mengatakan bahwa dirinya kini tinggal di Makasar serta bersekolah di tingkat empat. Sementara itu, kata dia, Umar masih tinggal di selter yang ada di Pekanbaru.
"Dia menganggapku sebagai anaknya. Begitu juga aku. Dia membelikan baju, celana. Saat puasa membelikan banyak makanan. Bakso, dan buah-buahan, dan lain-lainnya," jawab Hafizullah, dihubungi via panggilan WhatsApp, Sabtu (17/12/2022).
Hari itu, kata Hafizullah, ketika hendak berangkat naik ke atas bus, ia dan Mutiawati saling menangisi satu sama lain.
Advertisement