Mendahulukan Haji Pribadi atau Menghajikan Orangtua, Mana yang Lebih Utama?

Pandangan para ulama tentang pilihan terbaik antara mendahulukan kewajiban ibadah haji pribadi atau menghajikan orangtua.

oleh Putry Damayanty diperbarui 01 Mei 2024, 09:30 WIB
Diterbitkan 01 Mei 2024, 09:30 WIB
Ilustrasi Ibadah Haji 2024 (Istimewa)
Ilustrasi Ibadah Haji 2024 (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Beribadah haji atau umrah, menginjakkan kaki di Tanah Suci adalah impian besar bagi setiap muslim. Di Haramain yaitu Makkah dan Madinah terdapat banyak tempat yang penuh dengan keberkahan. 

Impian itu bukan hanya keinginan pribadi, tetapi tak jarang juga menyertakan cita-cita dari orang-orang yang dicintai, seperti kedua orangtua.

Sehingga menjadi harapan kebanyakan orang agar bisa membiayai haji orangtuanya. Namun, dilema muncul ketika dana yang dimiliki hanya cukup untuk menghajikan diri sendiri.

Satu sisi sang anak yang belum pernah haji masih terkena beban menjalankan rukun Islam yang kelima tersebut. Sedangkan, di sisi lain ia juga punya tekad untuk membahagiakan orang tuanya. 

Lantas, dalam kondisi ini manakah yang lebih utama didahulukan, mendahulukan haji pribadi atau membiayai haji orangtua?

 


Hukum Mendahulukan Orang Lain dalam Urusan Ibadah

Ilustrasi haji, umrah, Ka'bah
Ilustrasi haji, umrah, Ka'bah. (Photo created by vecstock on www.freepik.com)

Mengutip dari laman NU Online, dalam khazanah fiqih mazhab Syafi’i, orang yang memiliki kemampuan fisik dan finansial, berkewajiban melaksanakan haji, tapi ia tidak diharuskan berhaji secepatnya.

Boleh ia tunda di tahun-tahun mendatang dengan syarat adanya tekad kuat untuk melaksanakannya dan tidak ada dugaan kegagalan disebabkan suatu hal misalkan lumpuh atau kebangkrutan. 

Oleh karenanya, dalam konteks ini sah-sah saja bagi sang anak untuk memilih antara mendahulukan hajinya sendiri atau menghajikan orang tuanya, sebab tidak ada kewajiban baginya untuk menyegerakan haji pribadi.

Namun bila melihat pertimbangan keutamaan, yang lebih baik dilakukan adalah mendahulukan hajinya sendiri. Sebab mendahulukan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh. Dalam sebuah kaidah fiqih dinyatakan:

الْإِيثَارُ فِي الْقُرْبِ مَكْرُوهٌ وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ

Artinya: “Mendahulukan orang lain dalam ibadah adalah makruh, dan di dalam urusan lain disunnahkan".


Kewajiban Melaksanakan Haji

7.092 Jemaah Haji indonesia Didorong ke Makkah untuk Umrah
Sebelum ke Makkah, para jemaah dari Madinah ini terlebih dulu akan mengambil miqat makani (batas tempat dimulainya ibadah umrah atau haji) di Masjid Dzulhulaifah atau Bir Ali. Di sana, para jemaah akan mulai berihram dengan niat ibadah umrah. (Foto:Liputan6/Nafiysul Qodar)

Pilihan untuk mendahulukan haji pribadi juga dilakukan atas dasar menjaga perbedaan pendapat ulama yang menyatakan kewajiban haji adalah segera, tidak boleh ditunda, bahkan ini adalah pendapat tiga imam madzahib al-arba’ah selain Imam Syafi’i. Syekh Ibnu Quddamah menegaskan:

مَسْأَلَةٌ قَالَ: فَمَنْ فَرَّطَ فِيهِ حَتَّى تُوُفِّيَ، أُخْرِجَ عَنْهُ مِنْ جَمِيعِ مَالِهِ حَجَّةٌ وَعُمْرَةٌ 

Artinya: “Berkata sang pengarang; barangsiapa teledor di dalam haji sampai wafat, maka dikeluarkan dari seluruh hartanya untuk melaksanakan haji dan umrah atas nama dia".

وَجُمْلَةُ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ الْحَجُّ، وَأَمْكَنَهُ فِعْلُهُ، وَجَبَ عَلَيْهِ عَلَى الْفَوْرِ، وَلَمْ يَجُزْ لَهُ تَأْخِيرُهُ. وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَة، وَمَالِكٌ. وَقَالَ الشَّافِعِيُّ: يَجِبُ الْحَجُّ وُجُوبًا مُوَسَّعًا، وَلَهُ تَأْخِيرُهُ 

Artinya: “Detail persoalan tersebut adalah bahwa seseorang yang berkewajiban haji dan mungkin baginya untuk melaksanakan, maka wajib baginya melakukan segera, tidak boleh mengakhirkannya. Ini juga pendapat Abu Hanifah dan Malik. Berkata Imam al-Syafi’i; wajib haji baginya dengan kewajiban yang dilapangkan, dan boleh mengakhirkannya,” (Syekh Ibnu Quddamah, al-Mughni, juz 3, hal. 232). 

Dalam sebuah kaidah fiqih disebutkan: 

اَلْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ 

Artinya: “Keluar dari perbedaan ulama adalah disunnahkan”. 

Mendahulukan haji pribadi dalam konteks ini bukan berarti su’ul adab kepada orangtua. Kewajiban berangkat haji pribadi dan berbakti kepada orang tua bukanlah sebuah hal yang patut dipertentangkan, karena seorang anak tetap bisa berbakti kepada orang tuanya dengan mendoakannya saat ia berada di tempat-tempat mustajab seperti Multazam, orang tua yang berada di tanah air pasti senang dengan hal itu.

Bila punya kemampuan finansial berlebih, mengajak orangtua secara bersama-sama menunaikan ibadah haji tentu lebih utama. Wallahu a'lam.


Saksikan Video Pilihan ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya