Sapi Bertubuh Kecil, Apakah Boleh untuk Qurban 7 Orang?

Bagaimana jika sapi yang disembelih bertubuh kecil, apakah masih dapat mencukupi untuk ibadah qurban tujuh orang?

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Jun 2024, 02:00 WIB
Diterbitkan 02 Jun 2024, 02:00 WIB
20160903-Idul-Adha-Jakarta-Qurban-YR
Sejumlah hewan kurban di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Sabtu (3/9). Untuk harga Kambing dijual dengan harga Rp2,2-5,5 juta, sedangkan harga sapi Rp18-35 juta. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Cilacap - Berkurban merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan bagi orang Islam di Hari Raya Iduladha. Hukum kesunahan qurban ini sangat ditekankan. Dalam bahasa fiqih disebut dengan sunnah muakkad atau sunah yang dikuatkan (sangat dianjurkan).

Berdasarkan jumhur atau kebanyakan ulama, berkurban hukumnya sah jika dengan hewan ternak seperti, sapi, unta dan kambing.

Jika seseorang berkurban dengan sapi, maka seekor sapi cukup untuk 7 orang. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Jabir bin Abdillah bahwa pada tahun Hudaibiyah, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersama-sama dengan umat Islam menyembelih kurban berupa seekor unta dan seekor sapi.

“Kami telah menyembelih kurban bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi juga untuk tujuh orang.” (HR. Muslim: 2322, Abu Dawud: 2426, al-Tirmidzi: 1422 dan Ibn Majah: 3123)

Lalu, bagaimana jika sapi yang disembelih bertubuh kecil, apakah masih dapat mencukupi untuk ibadah qurban tujuh orang?

 

Simak Video Pilihan Ini:

Hukumnya

FOTO: Penjualan Hewan Kurban di Tengah Wabah Virus PMK
Pedagang memberi makan hewan kurban yang dijual di Cipulir, Jakarta, Selasa (28/6/2022). Menjelang Hari Raya Idul Adha, penjualan hewan kurban seperti sapi, kerbau, dan kambing kembali bergeliat meski sedang mewabah virus penyakit mulut dan kuku (PMK). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menukil NU Online, mengenai hal ini, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj menjelaskan kriteria hewan kurban.

  فَعُلِمَ أَنَّ الْأَكْمَلَ مِنْ كُلٍّ مِنْهَا الْأَسْمَنُ فَسَمِينَةٌ أَفْضَلُ مِنْ هَزِيلَتَيْنِ  

Artinya: "Dapat diketahui dari penjelasan sebelumnya bahwa yang paling utama (afdhal) untuk dijadikan kurban adalah hewan yang gemuk, berkurban dengan satu hewan yang gemuk lebih utama daripada berkurban dengan dua hewan yang kurus" (Ahmad Ibnu Hajar, Tuhfatul Muhtaj ma'a Hasyiyatain [Mesir: Maktabah Tijariyyah Mushthafa Muhammad, 1983], juz IX, halaman 150).  

Dari penjelasan di atas, secara implisit sebenarnya sudah bisa kita pahami bahwa hewan yang kurus, termasuk sapi, tetap sah dijadikan kurban, asalkan telah memenuhi kriteria umur dan tidak ada cacat.

Keterangan yang lebih jelas dapat kita temui dalam kitab Nihayatul Muhtaj karya Imam Syamsuddin Ar-Ramli, beliau menjelaskan:

 وَمَقْطُوعَةُ بَعْضِ أُذُنٍ أَبْيَنَ وَإِنْ قَلَّ لِذَهَابِ جُزْءٍ مَأْكُولٍ، وَأَفْهَمَ كَلَامُهُ عَدَمَ إجْزَاءِ مَقْطُوعَةٍ كُلِّهَا بِالْأَوْلَى وَكَذَا فَاقِدَتُهَا خِلْقَةً 

Artinya: "Hewan yang terpotong sebagian telinganya tidak sah dijadikan kurban, karena berkurangnya bagian tubuh yang dapat dimakan. Ucapan An-Nawawi tersebut memberi kesimpulan bahwa hewan yang seluruh bagian telinganya terpotong, atau lahir tanpa telinga, tidak sah dijadikan sebagai kurban".  

 Melengkapi penjelasan Ar-Ramli di atas, Syekh 'Ali Syabromallisi dalam anotasinya (hasyiyah) menyampaikan:

  أَمَّا صَغِيرَةُ الْأُذُنِ فَتُجْزِئُ لِعَدَمِ نَقْصِهَا فِي نَفْسِهَا كَصَغِيرَةِ الْجُثَّةِ  

 Artinya: "Adapun hewan yang telinganya kecil, tetap sah dijadikan kurban, karena anggota tubuhnya lengkap dan tidak ada yang berkurang dari anggota tersebut. Begitu juga (sah) hewan yang kecil postur tubuhnya" (Muhammad Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ma'a Hasyiyatain [Beirut: Darul Fikr, 1984], juz VIII, halaman 135).  

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan para ulama di atas, dapat kita simpulkan bahwa sapi yang sudah memenuhi kriteria sebagai hewan kurban dari segi umur dan tidak ada cacat, tetap dapat dijadikan kurban untuk tujuh orang.

Adapun hikmah yang disebutkan di atas (sebagaimana kaidah dalam ilmu ushul fikih) tidak memiliki pengaruh pada hukum, berbeda dengan 'illat (alasan hukum).

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya