Ancaman Allah bagi Orang yang Masih Memiliki Utang di Hari Kiamat, Mengerikan

Bagi yang memiliki utang, secepatnya harus dilunasi. Ini ancaman pedih Allah SWT

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Jun 2024, 08:30 WIB
Diterbitkan 20 Jun 2024, 08:30 WIB
Jangan Buat Foya-foya, Sulap Utang Menjadi Untung dengan Cara ini
(Foto: Ilustrasi)

Liputan6.com, Cilacap - Seseorang yang masih mempunyai utang sewaktu hidup di dunia, tak luput dari azab pedih di hari kiamat. Tak hanya itu, rupanya utang menjadikan sebab seseorang terhambat masuk surga.

Oleh sebab itu, seharusnya bagi orang yang masih memiliki utang, secepatnya untuk melunasinya. Rasulullah SAW mengecam bagi seseorang yang berhutang namun menunda untuk membayarkannya.

Rasulullah mengkategorikan orang yang menunda membayar utang sebagai orang yang zalim.

طْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

“Menunda-nunda membayar hutang bagi orang yang mampu (membayar) adalah kezaliman,” (HR Bukhari).

Penting dan wajibnya membayar utang, sampai-sampai Allah SWT memberikan ancaman serius bagi pelakunya yang enggan untuk membayarnya.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Doanya Tak Diampuni Meskipun Mati Syahid

Ilustrasi Stress
Ilustrasi Stres karena terjerat utang | foto : istimewa

Mengutip NU Online, Beratnya dosa orang yang melalaikan hutang, sampai-sampai ia terbunuh dalam keadaan syahid sekalipun, maka dosa hutang tetap tidak terampuni. Demikian sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw.

فِي الدَّيْنِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلًا قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ عَاشَ، ثُمَّ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ عَاشَ، ثُمَّ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ عَاشَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَقْضِيَ دَيْنَهُ

Artinya, “Dalam urusan hutang, demi Zat yang menggenggam jiwa Muhammad, seandainya seseorang terbunuh di jalan Allah, kemudian hidup lagi, kemudian terbunuh lagi di jalan Allah, kemudian hidup lagi, kemudian terbunuh lagi di jalan Allah, kemudian hidup lagi, tetapi ia memiliki tanggungan hutang, maka ia tidak akan masuk surga sampai melunasi hutangnya,” (HR. Ahmad).  

Pada saat kematiannya, orang yang berutang tidak mendapat rida Allah swt. Hal itu tercermin dalam sikap Rasulullah saw ketika datang seorang jenazahnya kepadanya untuk dishalatkan. Namun, beliau menolak menshalatkannya.

Beliau bertanya, “Apakah sahabat kalian ini memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Iya.” Beliau bertanya lagi, “Apakah ia meninggalkan sesuatu untuk melunasinya?” Dijawab oleh mereka, “Tidak.” Beliau mengatakan, “Shalatkan saja sahabat kalian itu oleh kalian!” Untungnya, ‘Ali bin Abi Thalib menyela, “Biarlah kewajibanku melunasi hutangnya.” Mendengar demikian, beliau berkenan maju dan menshalati jenazah orang tersebut. (HR. al-Bukhari). 

Menyesal di Alam Kubur dan Hari Kiamat

Ilustrasi utang Indonesia (Liputan6.com / Abdillah)
Ilustrasi utang Indonesia (Liputan6.com / Abdillah)

Setelah berada dalam kubur, orang yang berhutang juga mengalami penyesalan yang luar biasa, sampai-sampai tangannya terbelenggu di tengkuknya, sebagaimana hadits Rasulullah saw, “Orang yang memiliki utang, di alam kuburnya, tangannya terbelenggu. Tidak ada yang dapat melepaskannya hingga utangnya dilunasi.” 

Belum lagi di akhirat kelak, orang berhutang juga kebaikannya diambil oleh orang yang menghutanginya, sebagaimana hadits berikut:

 مَنِ ادَّانَ دَيْنًا وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يُؤَدِّيَهُ أَدَّى الله عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنِ اسْتَدَانَ دَيْنًا، وَهُوَ لَا يَنْوِي أَنْ يُؤَدِّيَهُ فَمَاتَ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: ظَنَنْتُ أَنِّي لَا آخُذُ لِعَبْدِي حَقَّهُ، فَيُؤْخَذُ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَيُجْعَلُ فِي حَسَنَاتِ الْآخَرِ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ الْآخَرِ فَجُعِلَتْ عَلَيْه 

Artinya, “Siapa saja yang berhutang, seraya berniat untuk melunasinya, maka Allah akan melunasinya dari orang tersebut pada hari Kiamat. Sementara siapa saja yang berhutang, seraya tidak ada niat untuk melunasinya, kemudian ia meninggal, maka pada hari Kiamat, Allah berkata kepadanya, ‘Aku mengira bahwa Aku tidak mengambil haknya untuk hamba-Ku.’ Maka diambillah kebaikan-kebaikannya, lalu diberikan kepada kebaikan-kebaikan yang lain. Setelah tidak ada lagi kebaikan yang bisa diambil, maka keburukan yang lain dilimpahkan kepadanya.” (HR. Ath-Thabrani). 

Maksudnya adalah kebaikan orang-orang yang berhutang ditambahkan kepada kebaikan-kebaikan orang yang menghutangi. Setelah kebaikan yang berhutang tidak ada, maka keburukan-keburukan orang yang menghutangi dilimpahkan kepada orang yang berhutang. 

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya