Liputan6.com, Jakarta - Tidak ada seorang pun manusia yang terhindar dari dosa. Oleh karena itu, tidak seharusnya seseorang merasa dirinya lebih baik yang lain, karena kita semua pernah berbuat dosa.
Apalagi jika hawa nafsu telah menguasai diri, setan akan dengan mudah menggoda iman dan membawa dalam kesesatan dan perbuatan maksiat.
Advertisement
Namun, meski dosa-dosa sebanyak buih di lautan, pintu taubat akan selalu terbuka. Allah SWT memberikan kesempatan kepada hamba-Nya untuk memperbaiki diri melalui taubat.
Advertisement
Baca Juga
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ اَلْخَطَّائِينَ اَلتَّوَّابُونَ
Artinya: “Semua anak adam (manusia) melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat” (HR. At-Tirmidzi).
Dikutip dari NU Online, Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Tajul Arus menjelaskan tentang dua cara bertaubat yang bisa ditempuh oleh seorang hamba, sebagai berikut.
Saksikan Video Pilihan ini:
1. Al-Muhasabah (Introspeksi Diri)
Maksudnya, orang yang ingin betobat harus tidak lepas dari introspeksi. Caranya, selalu berpikir sepanjang umurnya, jika waktu pagi datang, maka berpikirlah perihal apa yang akan dilakukan olehnya pada malam hari. Jika menemukan pekerjaan taat, maka bersyukurlah pada Allah, dan jika menemukan pekerjaan maksiat, maka istighfarlah kepada-Nya dan segera bertaubat.
Tidak cukup dengan itu, ia harus mencela dirinya atas maksiat yang diperbuat. Karena, tidak ada cara paling ampuh dalam bertobat selain mencela diri sendiri ketika melakukan kesalahan. Jika tips ini dilakukan, maka Allah akan memberikan kemuliaan, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Ibnu ‘Athaillah, yaitu:
فان فعلت ذلك أبدلك الله بالحزن فرحا، وبالذل عزا، وبالظلمة نورا، وبالحجاب كشفا
Artinya: “Jika tips di atas dilakukan, maka Allah akan menggantikan kesedihan dengan bahagia, hina dengan mulia, gelap dengan cahaya, dan kondisi terhalang (dari Allah) dengan terbuka (mengenal Allah)” (Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari, Farhatun Nufus bi Syarhi Tajul Arus, [Beirut: Dar al-Kutub 2015], h. 17).
Tidak cukup dengan itu, seorang hamba harus merasa bahwa dirinya selalu ada dalam pengawasan Allah SWT. Dengannya, tidak akan melakukan pekerjaan yang berujung dosa, bahkan tidak melakukan pekerjaan dengan tujuan selain Allah SWT.
Dosa dalam diri manusia menjadi penyebab kegelapan hati yang selalu membekas. Maksiat bagaikan api, sedangkan dosa sebagai asapnya. Jika asap api mengenai rumah, seindah apa pun rumahnya akan menjadi tidak elok dipandang dan tidak nyaman ditempati.
Begitupun dengan manusia, sebersih apa pun dia dari kesalahan. Jika maksiat sudah diperbuat olehnya, dan dosa menjadi konsekuensinya, maka Allah tidak akan senang dengannya, sehingga ia akan semakin jauh dari Allah. Oleh karenanya, tidak ada cara lain selain membersihkan dosa dalam diri manusia kecuali dengan cara bertaubat.
Advertisement
2. Al-Ittiba’ (Mengikuti Rasulullah)
Maksudnya, orang yang ingin bertobat harus tunduk patuh mengikuti Rasulullah dalam semua tindakannya, seperti pekerjaan, ucapan, dan ibadahnya. Apalah arti sebagai umat Nabi Muhammad jika semua pekerjaan yang dilakukan justru tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah? Seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang tidak ada manfaatnya selama ia tunduk patuh dan mengikuti jejak langkah Rasulullah dalam kehidupannya sehari-hari.
Ketentuan kedua ini begitu jelas, dalam Al-Qur’an Allah memerintahkannya, yaitu:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali ‘Imran: 31)
Mengikuti jejak langkah yang dipraktikkan oleh Rasulullah, menunjukkan sebagai upaya menjadi bagian darinya. Berusaha menjadi bagian Rasulullah artinya berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Begitupun sebaliknya, tidak mengikuti Rasulullah artinya tidak ingin menjadi bagian darinya, dan tentu juga ingin menjauh dari Allah. Naudzubillah.
Penjelasan tersebut mengingatkan kita pada kisah yang terjadi beberapa abad yang lalu, tepatnya ketika peristiwa perang Khandaq, yaitu pengakuan Rasulullah pada sahabat Salman al-Farisi yang dinyatakan sebagai keluarganya. Dalam hadisnya, secara jelas Rasulullah bersabda:
سلمان منا أهل البيت
Artinya: “Salman merupakan bagian dari kita, sebagai keluarga.” (Imam Suyuthi, Jam’ul Jawami’, juz 1, h. 1334)
Sebagaimana diketahui, sahabat Salman bukanlah keturunan Rasulullah, bahkan tidak termasuk dari golongan suku Quraisy. Ia hanyalah pendatang dari kota Persia untuk masuk Islam. Betapapun demikian, sikap tunduk patuh dan mengikuti semua tingkah laku Rasulullah menjadikan orang Persia itu bagian darinya, bahkan dianggap sebagai keluarganya.
Jika tunduk patuh dalam mengikuti langkah Rasulullah bisa dianggap sebagai bagian darinya, tentu mereka yang tidak mengikuti tidak bisa dianggap sebagai bagiannya. Hal ini tergambar secara jelas dalam kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, ketika menganggap anaknya sebagai bagian darinya. Lantas, Allah berfirman kepadanya:
Artinya: “Dia (Allah) berfirman, ‘Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik.” (QS. Hud: 46).