Liputan6.com, Jakarta - Ada banyak ayat dan hadis yang menjelaskan bahwa ibadah dapat mendatangkan rezeki. Namun, jika melihat sekeliling, kita sering menemui kenyataan yang sebaliknya.
Banyak orang yang tekun beribadah, bahkan sangat rajin dalam menjalankan perintah agama, tapi justru kehidupannya tidak selalu mencerminkan kemakmuran dan kekayaan.
Advertisement
Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah ibadah tidak selalu menjamin kesuksesan materi?
Advertisement
Baca Juga
Ustadz Abdul Somad (UAS) memberikan penjelasan mengenai hal ini. Beliau menyampaikan bahwa rezeki dalam Islam tidak hanya terbatas pada harta atau kekayaan duniawi.
Ada banyak bentuk rezeki yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya, seperti kesehatan, kebahagiaan, ketenangan hati, dan keberkahan dalam kehidupan. Oleh karena itu, seseorang yang rajin beribadah tidak selalu harus diukur dengan seberapa banyak harta yang dimiliki.
Saksikan Video Pilihan ini:
Rezeki Bukan Hanya Uang dan Harta
Sebelum membahas lebih lanjut, penting bagi kita untuk memiliki pemahaman yang benar tentang rezeki. Banyak orang mengaitkan rezeki hanya dengan hal-hal materi. Namun, rezeki sebenarnya memiliki makna yang lebih luas dan tidak terbatas pada hal-hal fisik semata.
"Yang pertama, kita perlu memahami apa itu rezeki. Kalau orang memahami bahwa rezeki adalah uang, berarti tidak dapat uang, tidak dapat rezeki. Kalau memahami bahwa rezeki adalah mobil, berarti enggak punya mobil, berarti enggak dapat rezeki," kata UAS dikutip dari YouTube Tsaqofah TV.
Rezeki bukan hanya harta atau materi, melainkan segala sesuatu yang mendekatkan kita kepada ridho Allah, termasuk kebaikan dalam hidup, ketenangan hati, dan berkah dalam setiap langkah kita.
"Maka, makna rezeki, kata Syekh Muhammad Mutawalli Asya'rawi dalam kitab Al-Fatawa Al-Kubra, 'semua kebaikan yang membawa kita kepada ridho Allah, itulah rezeki'," ujarnya.
Rezeki juga bisa berupa teman yang baik. Teman yang mengingatkan kita untuk selalu beribadah, yang menegur kita untuk menjauhi kemungkaran, semuanya merupakan bentuk rezeki yang mungkin tidak kita sadari sebelumnya.
"Kalau kita punya teman yang baik, yang mengajak kita untuk beribadah, menegur kita dalam nahi mungkar, mengingatkan kita dalam kepayahan, kesulitan, menyenangkan hati kita saat diterpa bala, musibah, itu adalah rezeki," ucapnya.
Jika kita hanya melihat rezeki dari segi materi, maka banyak orang yang mungkin lebih kaya dan berkuasa daripada para nabi dan rasul.
"Kalaulah rezeki itu benda, maka berarti Qarun lebih mulia daripada Musa, karena Qarun lebih kaya daripada Musa. Kalaulah rezeki itu kuasa, berarti Firaun lebih dapat rezeki daripada Musa, karena Firaun lebih berkuasa. Kalaulah rezeki itu kasur yang lembut dengan sutra, berarti Abu Jahal dan Abu Lahab lebih dapat rezeki daripada Sayyidina wa Maulana Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam," jelas UAH.
Advertisement
Pentingnya Ikhtiar dan Doa dalam Menjemput Rezeki
Islam membawa sebuah perubahan besar dalam cara pandang kita terhadap hidup, termasuk tentang rezeki. Sebelumnya, banyak orang menganggap bahwa rezeki hanya berupa kekayaan materi, kekuasaan, atau kedudukan sosial. Namun, Islam mengajarkan bahwa rezeki yang sejati lebih dari itu.
"Islam datang memberikan kita standar yang sebelumnya orang menganggap rezeki adalah harta, tahta, wanita, atau toyota, tapi setelah Islam datang, pandangan kita tentang rezeki berubah. Rezeki adalah ketenangan batin, rezeki adalah istiqomah dalam iman dan Islam, rezeki adalah sahabat, guru, dan kebaikan," tutur beliau.
Rezeki sesungguhnya dapat dilihat dari bagaimana benda atau kekayaan itu membawa kita ke jalan kebaikan.
"Ketika mobil ini membawa pemiliknya ke masjid, ke tempat ibadah, menjadikan tempat belajar menuntut ilmu, menyampaikan dia tempat yang baik, itu menjadi rezeki. Tapi ketika kendaraan ini membuat dia lalai dan membawanya ke tempat maksiat, sesungguhnya dia bukan rezeki," ucapnya.
Begitu pula dengan jabatan atau kekuasaan. Jabatan bisa menjadi ujian bagi seseorang, bukan hanya sekedar rezeki. Ketika jabatan membawa seseorang jauh dari Allah, maka jabatan tersebut bisa menjadi azab yang tertunda.
"Saat itu jabatan bukan menjadi rezeki, tapi dia adalah azab yang tertunda. Azab yang tertunda itu disebut dengan istidraj," ungkapnya.
"Jadi, setelah memahami makna rezeki, kita paham bahwa tidak semua yang kita anggap rezeki adalah rezeki. Bisa jadi dia adalah laknat, dan tidak semua yang kita anggap laknat itu adalah laknat. Bisa jadi dia adalah rezeki," sambungnya.
Bekerja dan berdoa adalah bagian dari usaha yang diperintahkan, dan Allah yang menentukan hasilnya. Jika Allah berkehendak, tidak ada yang mustahil.
"Adapun kenapa orang ini kaya, ini tidak kaya, kita disuruh berusaha, bercocok tanam, bisnis, dengan tetap tidak meninggalkan sholat. Adapun orang yang hanya sholat tanpa berusaha, berikhtiar, maka tidak akan mungkin dia bisa kaya raya. Tapi kalau Allah mau, tak ada yang mustahil," pungkasnya.