Liputan6.com, Jakarta - Puasa merupakan kewajiban bagi setiap umat Muslim. Namun, sebagaimana mayoritas kaum perempuan memiliki fitrah yang menghalanginya berpuasa sebulan penuh.
Sehingga bagi mereka yang tidak dapat berpuasa, Islam memberikan kelonggaran untuk mengganti puasa yang tertinggal setelah bulan Ramadan berakhir.
Khususnya bagi perempuan, hal ini sering terjadi pada mereka yang mengalami haid atau nifas, di mana tidak diperbolehkan untuk berpuasa pada hari-hari tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Selain itu, ada juga yang mungkin tidak berpuasa karena alasan kehamilan atau menyusui. Bagi perempuan yang melewatkan puasa dengan alasan tersebut, qadha puasa menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan secepatnya sebelum masuk Ramadan berikutnya.
Lantas, kapan batas akhir untuk mengqadha puasa Ramadan tahun lalu bagi perempuan? Berikut penjelasannya dikutip dari laman bincangmuslimah.com.
Saksikan Video Pilihan ini:
Kewajiban Mengqadha Utang Puasa Ramadan
Salah satu cara menyambut bulan suci Ramadan adalah menyegerakan untuk mengganti puasa yang telah ditinggalkan pada Ramadan tahun lalu. Kalau hingga detik ini belum sempat menunaikan qadha’ puasa. Maka Sya’ban merupakan bulan terakhir untuk membayar hutang puasa tersebut, sebagaimana dilakukan oleh Aisyah Ra. Dari Abu Salamah, ia mendengar ‘Aisyah Ra. mengatakan:
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ . قَالَ يَحْيَى الشُّغْلُ مِنَ النَّبِىِّ أَو بِالنَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم
Artinya: “Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari, no. 1950; Muslim, no. 1146)
Mengganti atau qadha puasa yang telah ditinggalkan pada Ramadan sebelumnya berarti membayar kewajiban yang pernah ditinggalkan. Oleh karena itu, walau sebenarnya yang dilakukan tidak bisa menyamai pahala dengan orang yang melakukannya dalam bulan suci, tapi paling tidak bisa menggugurkan kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim yang sudah tergolong Mukallaf.
Dalam kitab Durus Al-Am karya Doktor Abdul Malik Al-Qasim dimaktubkan, barangsiapa memasuki bulan Sya’ban dan masih mempunyai kewajiban untuk mengganti (qadha) puasa Ramadan, maka wajib baginya untuk melaksanakan puasa itu dengan segera dan dengan segala kemampuannya. Ia tidak boleh menunda puasa tersebut setelah bulan Ramadan berikutnya tanpa ada udzur (halangan).
Advertisement
Batas Waktu Qadha Puasa Ramadan
Adapun beberapa pendapat yang menyatakan tidak boleh berpuasa setelah masuk pertengahan bulan Sya’ban adalah tidak berlaku bagi seseorang yang masih memiliki tanggungan puasa Ramadan. Karena sejatinya masa mengganti puasa Ramadan dimulai dari bulan Syawal dan berakhir hingga bulan Sya’ban.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلَا تَصُومُو
“Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Abu Daud, At-Turmudzi, dan Ibnu Majah)
Dalil tersebut yang biasa dijadikan hujjah dalam pelarangan puasa di setengah akhir Sya’ban. Namun al-Munawi memberikan keterangan untuk hadis tersebut dalam kitab Fathul Qadir:
أي يحرم عليكم ابتداء الصوم بلا سبب حتى يكون رمضان
“Maksud hadis, terlarang bagi kalian untuk memulai puasa tanpa sebab, sampai masuk bulan Ramadan”
Adapun maksud dari “puasa tanpa sebab” adalah puasa sunnah mutlak. Oleh karena itu larangan dalam hadis tersebut tidak berlaku seseorang yang masi memiliki hutang puasa Ramadan. Karena seseorang tersebut wajib menggantinya sebelum datang Ramadan berikutnya.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan dalam kitab Fathul Bari bahwa tidak terdapat dalil bolehnya mengundurkan qadha’ Ramadan baik mengundurkannya karena ada udzur atau pun tidak. Akan tetapi yang dianjurkan adalah qadha’ Ramadan dilakukan dengan segera (tanpa ditunda-tunda) berdasarkan firman Allah Ta’ala yang memerintahkan untuk bersegera dalam melakukan kebaikan,
أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al Mu’minun: 61)
Wallahu’alam.
