Liputan6.com, Jakarta - Beberapa kondisi tertentu membuat seseorang tidak dapat menjalankan kewajiban puasanya pada bulan Ramadhan, seperti wanita hamil dan menyusui.
Dalam hal ini, Islam memberikan kelonggaran dan pilihan untuk mengganti puasa yang terlewat setelah Ramadan berlalu. Ketentuan mengenai qadha puasa Ramadhan bagi wanita hamil dan menyusui memang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur’an.
Sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 184-185, Allah memberikan keringanan bagi mereka yang sakit, dalam perjalanan, atau bagi mereka yang menghadapi kesulitan saat menjalankan puasa.
Advertisement
Baca Juga
Oleh karena itulah, munculnya perbedaan pendapat di kalangan ulama, yang kemudian memengaruhi ketentuan qadha puasa sesuai dengan syariat.
Lantas, bagaimana halnya dengan wanita hamil dan menyusui yang masih memiliki utang puasa sebelumnya, namun belum mampu menggantinya hingga datang Ramadan berikutnya? Berikut penjelasan lengkapnya dikutip dari bincangmuslimah.com.
Saksikan Video Pilihan ini:
Ketentuan Qadha dan Fidyah Menurut Para Ulama
Islam memberikan kebolehan bagi wanita hamil dan menyusui untuk tidak melaksanakan puasa dengan beberapa ketentuan yang masih perlu ditunaikan. Yakni dengan mengganti puasa dan membayar fidyah.
Melalui ijtihad atau upaya para ulama dalam menggali hukum, terdapat dua kategori yang dapat menjadi pedoman bagi mereka dalam menunaikan kewajiban tersebut sebagai pengganti puasanya:
Pertama: Kewajiban Qadha atau Mengganti Puasa Saja
Kategori yang pertama, wanita hamil dan menyusui wajib mengganti hutang puasanya dengan puasa di lain hari sesuai dengan puasa yang ditinggalkan. Dengan alasan apabila ia memiliki kekhawatiran terhadap dirinya sendiri maupun anaknya.
Menukil kitab al-Fiqh ‘Ala al-Madhahib al-Arba’ah, keempat imam mazhab berdiri selaras dalam pendapat ini. Adapun mazhab Syafi’I lebih merincikan pada dua keadaan untuk qadha puasa saja, yakni kekhawatiran atas diri wanita itu sendiri dan kekhawatiran atas diri sendiri serta anaknya. Begitu pula mazhab Maliki yang merincikan bahwa wanita yang tidak berpuasa karena hamil saja (tidak menyusui) tidak wajib membayar fidyah.
Kedua: Kewajiban Qadha Puasa dan Membayar Fidyah
Kategori yang kedua, wanita hamil dan menyusui wajib Qadha puasanya di lain hari sekaligus dengan membayar fidyah. Yakni memberikan sebagian harta benda kepada fakir miskin sebagai ganti puasa yang ditinggalkan. Hal ini apabila terdapat kekhawatiran terhadap kondisi janin atau anaknya saja.
Menukil kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu, jumhur ulama mazhab memiliki pendapat yang sama dalam hal ini, kecuali mazhab Hanafi. Demikian madzhab Maliki menjelaskan kembali kewajiban membayar fidyah bagi wanita yang meninggalkan puasa karena memiliki tanggungan menyusui.
Adapun besaran ketentuan fidyah adalah 1 mud atau setara dengan 3/4 liter beras. Pembayaran besaran tersebut setiap hari sesuai dengan jumlah puasa yang ia tinggalkan.
Advertisement
Ketentuan Qadha Puasa
Menukil dari kitab Fathul Muin, bahwa wanita yang hamil dan menyusui yang belum memiliki kesempatan mengganti puasanya hingga bertemu Ramadan selanjutnya, maka ia hanya diwajibkan menqadha puasa saja tanpa harus membayar fidyah. Karena memiliki udzur (sakit/hamil/menyusui) tersebut:
وخرج بقولي بلا عذر: ما إذا كان التأخير بعذر كأن استمر سفره أو مرضه أو إرضاعها إلى قابل فلا شيء عليه ما بقي العذر وإن استمر سنين
“Tidak termasuk ucapanku ‘tanpa ada udzur’, yaitu jika penundaan qadha itu karena udzur. Seperti terus menerus dalam bepergian atau sakit atau menyusui hingga masuk Ramadan tahun depan, maka ia tidak mendapat kewajiban fidyah selama udzur tersebut masih berlangsung walaupun sampai bertahun-tahun.”
Kesimpulan
Pertama, jika wanita hamil dan menyusui memiliki dua utang puasa (tahun lalu dan tahun selanjutnya) karena adanya uzur syar’i berturut-turut, maka ia hanya wajib menqadha puasa saja setelah ia mampu nanti.
Seperti contoh jika seorang ibu pada Ramadan tahun lalu telah hamil dan menyusui, hingga bertemu Ramadan berikutnya ternyata hamil lagi atau masih memiliki kewajiban menyusui lagi, maka ini masuk kategori uzur syar’i.
Kedua, jika wanita hamil dan menyusui tersebut melewatkan dua Ramadan dan belum mengganti puasanya, sedang sebenarnya saat itu kondisi setelah terbebas dari bayi masih sanggup untuk berpuasa. Maka ia wajib mengganti puasa dan membayar fidyah sejumlah hari ia tidak berpuasa. Karena tidak termasuk pada uzur (halangan).
Demikian adanya ikhtilaf atau perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah hal yang lazim. Karena berbeda sudut pandang dan mempertimbangkan illat hukum yang ada.
Hal ini sebagai bukti bahwa Islam menjadi garda terdepan dalam menjaga dan mencegah adanya madharat bagi umatnya. Terutama dalam konteks ini bagi ibu dan anaknya. Demikian pula hal ini selaras dengan salah satu poin maqashid syari’ah, yakni hifdz An-Nafsi atau menjaga jiwa.
Advertisement
