Liputan6.com, Cilacap - Setan merupakan makhluk Allah SWT yang memiliki karakter jahat dan sepanjang hidupnya bertujuan untuk menjerumuskan manusia. Setan menghendaki teman sebanyak-banyaknya untuk menemaninya di neraka.
Allah SWT menerangkan kriteria teman-teman setan, bahkan Al-Qur’an menyebutnya sebagai teman setia setan.
وَاِخْوَانُهُمْ يَمُدُّوْنَهُمْ فِى الْغَيِّ ثُمَّ لَا يُقْصِرُوْنَ
"Dan teman-teman mereka (orang kafir dan fasik) membantu setan-setan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan). (QS Al-A’raf: 202)".
Advertisement
Menurut KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) setan itu tidak perlu ditakuti. Sebab ternyata setan itu tidak kuat alias lemah.
Baca Juga
“Tidak repot menghadapi setan, setan itu cemen bukan siapa-siapa,” tegas Gus Baha dikutip dari tayangan YouTube Short @Gusbahaterbaru1, Senin (17/02/2024).
Simak Video Pilihan Ini:
Bukti Setan Lemah
Gus Baha mengingatkan betapa pentingnya sikap optimis saat menghadapi makhluk jahat ini. Menurut ulama asal Rembang ini, setan itu bukan makhluk yang perlu ditakuti secara berlebihan. Sebab setan itu sebenarnya makhluk yang lemah.
Dia membeberkan bukti jika setan itu lemah, sebab hingga saat ini masih berdiri lembaga pendidikan keagamaan semisal pondok pesantren dan juga masih banyak orang yang melaksanakan sholat.
“Seumpama setan menang tidak ada pondok, tidak ada orang sholat,” terangnya lagi.
“Setan dari awal mula penciptaannya itu yang sholat masih banyak, baca Al-Qur'an banyak, puasa banyak," tegasnya.
"Berarti tingkat kegagalannya tinggi, sesungguhnya tipu daya setan itu lemah," imbuhnya.
“Nah di bab yang seperti itu kamu itu harus jumawa," terangnya lagi.
Advertisement
Cara Memohon Pertolongan dari Godaan Setan
Mengutip NU Online, menurut Al-Razi, dari sini diketahui bahwa terdapat dua opini mengenai kapan waktu terbaik memohon pertolongan dari godaan setan. Pertama, sebelum melakukan amal, yang umumnya didasarkan pada khabar atau hadits dan pemahaman ayat berdasarkan takwil (menambahkan unsur aradta).
Kedua, sesudah melakukan amal, yang dibangun di atas fondasi argumen tekstual (jawab atau jaza mestilah lebih belakangan daripada syarat-nya). Al-Razi menyebutnya sebagai berdasarkan dalil Al-Quran.
Karenanya, Al-Razi kemudian memunculkan pendapat ketiga, yakni kompromi di antara kedua pemaknaan; dalil hadits maupun Al-Quran. Itu berarti seseorang hendaknya ber-isti’adzah pada permulaan amaliah, tetapi juga membacanya lagi setelah perbuatan tersebut selesai.
Tanpa bermaksud mempertanyakan keabsahan pendapat Al-Razi dari sisi fiqh mazhab, pendapat itu sepertinya cukup menarik diikuti. Kenapa? Sebab kita toh tak pernah betul-betul tahu kapan setan mengembuskan senjata waswas-nya. Apakah di permulaan amal? Di tengah-tengah? Atau justru setelah usai?
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
