Liputan6.com, Jakarta Selepas Lebaran masyarakat kerap memulai kembali kehidupan di luar bulan suci dengan halal bihalal.
Halal bihalal menjadi salah satu tradisi masyarakat Indonesia pada momen Idul Fitri. Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar berharap tradisi ini menjadi salah satu cara mensyukuri kedamaian Indonesia.
Baca Juga
Menurutnya, Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan keragaman budaya, bahasa, dan agama. Meskipun sarat akan perbedaan dan keberagaman, bangsa ini tetap mampu menjaga keharmonisan.
Advertisement
"Indonesia itu satu-satunya negara yang begitu luas, dengan lebih dari 17.000 pulau dan 350 bahasa lokal, tetapi tetap damai. Ini anugerah besar yang harus kita syukuri," kata Nasaruddin saat menghadiri Halal Bihalal keluarga besar Pondok Pesantren As'adiyah Macanang, di Wajo, Sulawesi Selatan, Minggu (6/4/2025).
Di hadapan pengasuh, santri, dan alumni Pesantren As'adiyah, Nasaruddin memaparkan konsep trilogi kerukunan, yaitu hubungan harmonis antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Menurutnya, manusia adalah satu-satunya makhluk yang harus tunduk pada dua sistem hukum, yakni hukum takwini (hukum alam) dan hukum tasyri’i (hukum syariat).
“Semua ciptaan Allah tunduk pada hukum alam, tetapi manusia juga wajib menaati hukum syariat. Inilah yang membedakan manusia sebagai khalifah di bumi,” jelasnya.
Apa Makna Halal Bihalal?
Dalam keterangan lain, Direktur Madrasah Moderasi Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) Sumenep, Jawa Timur, Damanhuri, menjelaskan soal makna halal bihalal.
Halal Bihalal menjadi kekhasan Indonesia yang dilaksanakan setelah Hari Raya Idul Fitri. Dalam sudut pandangnya, halal bihalal berarti menyelesaikan problem, kesulitan, meluruskan benang kusut, dan mencairkan sesuatu yang beku.
“Jadi, halal bihalal dikonotasikan pada kegiatan silaturrahim atau saling memaafkan,” kata Damanhuri mengutip laman NU Online, Selasa (8/4/2025).
Dia menjelaskan, istilah halal bihalal dihadapkan dengan istilah haram. Ketika melihat sesuatu, muncullah pertanyaan halal atau haram. Haram adalah sesuatu yang dilarang, sehingga ketika melanggar mendapat dosa. Sedangkan halal adalah sesuatu yang diperbolehkan sehingga yang berbuat mendapat pahala.
Advertisement
Bagaimana Sejarah Halal Bihalal?
Secara historis, lanjutnya, ada 3 fase dan kronologi istilah halal bihalal muncul di tengah-tengah masyarakat. Pertama, fase sebelum gagasan yang dimunculkan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah.
"Setelah melihat beberapa manuskrip kuno, seperti babad Cirebon, Demak, Pasai, dan Jawa, sebenarnya kegiatan halal bihalal sudah terjadi pada abad ke-15, yaitu pada masa Walisongo. Waktu itu Walisongo memanfaatkan ritual Dharma Sunya bagi pemeluk Kapitayan. Setahun sekali mereka punya tradisi saling menghilangkan kesalahan," urai Damanhuri.
Fase kedua muncul pada abad ke-18 (tahun 1900-an). Diceritakan, dalam babad Cirebon, Raja Arya Mangkunegara I (nama lahir Raden Mas Said) pendiri Kadipaten Mangkunegaran Surakarta, Jawa Tengah, mentradisikan sungkeman. Di sana para prajurit berkumpul di balai, kemudian sowan pada raja dan permaisuri yang terjadi setelah Idul Fitri.
Awal Mula Halal Bihalal
Di awal abad ke-20, dokumen majalah suara Muhammadiyah edisi nomor 5 tahun 1924 menyebutkan bahwa orang dulu menggunakan istilah halal bihalal.
Dalam riwayat lain, halal bihalal disebut berasal dari seorang penjual martabak asal India yang mempromosikan dagangannya di sekitar taman Sriwedari Solo (tahun 1935-1936) dengan menyebut martabak semakin lebar alias halal bihalal.
"Dokumen ini ditemukan dalam catatan sejarah. Namun yang menjadi patokan adalah gagasan yang disampaikan oleh KH Abdul Wahab Chasbillah pada tahun 1948 di kala Presiden Soekarno meminta solusi pada Mbah Wahab untuk menyelesaikan konflik yang terjadi pada elite politik di pemerintahan," ungkap Damanhuri.
Sowan yang dilakukan Bung Karno itu membuahkan jalan keluar, yakni diselesaikan dengan silaturahim. Hanya saja istilah itu sudah lumrah dikenal masyarakat. Akhirnya, Mbah Wahab menggantinya dengan istilah baru, yakni halal bihalal.
"Para elite politik yang tak mau bersatu dikumpulkan dalam suatu meja supaya mereka tidak punya dosa atau harus dihalalkan dosanya. Hingga kini cerita legendaris ini dikenal oleh masyarakat luas," papar Damanhuri.
Jadi, esensi halal bihalal adalah memberikan maaf pada orang lain. Istilah halal bihalal semakin berkembang yang kini dikenal dengan sebutan temu kangen atau reuni yang dilakukan setelah Hari Raya Idul Fitri.
Berdasarkan pengamatannya, konten pemersatu lewat silaturrahim, hakikatnya adalah adanya kelapangan dada untuk melepas rasa sakit, menciptakan suasana yang kondusif, membangun sesuatu yang baik bagi agama, bangsa, dan negara.
"Halal bihalal harus menggembirakan. Lewat acara makan-makan, minum-minuman yang enak, bersenda gurau, cerita masa lalu, dan lainnya, menjadi bumbu halal yang berkembang saat ini atau tidak sekedar maaf-maafan. Bahkan ada pula ajang cari jodoh. Intinya banyak hikmah di balik halal bihalal," terangnya.
Advertisement
