Bantahan Kemenperin Soal Emisi Mobil Listrik Lebih Tinggi, Ini Penjelasannya

Menurut Hendro, untuk mencapai dekarbonisasi ekosistem mobil listrik diperlukan energi listrik yang renewable dengan mengurangi bauran sumber listrik dari fosil baik untuk energi kendaraan listrik juga processing mineral untuk pembuatan baterai itu sendiri.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Okt 2023, 13:42 WIB
Diterbitkan 21 Okt 2023, 09:26 WIB
beragam mobil listrik dalam GIIAS 2023
Mobil listrik Mitsubishi eK X EV dipamerkan pada pameran otomotif Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2023 di ICE BSD, Tangerang, Banten, Kamis (10/8/2023). (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan (IMATAP) Kemenperin R Hendro Martono merespons pernyataan Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Syafrudin. Ketika itu Ahmad menyebut menperin  menyampaikan emisi  mobil listrik lebih tinggi ketimbang hybrid dan bensin merupakan pendangkalan upaya pemerintah untuk mendorong emisi karbon 2060.

Menurut Hendro, untuk mencapai dekarbonisasi ekosistem mobil listrik diperlukan energi listrik yang renewable dengan mengurangi bauran sumber listrik dari fosil baik untuk energi kendaraan listrik juga processing mineral untuk pembuatan baterai itu sendiri.

“Terpenting juga fasilitas recyling baterai yang tersedia sehingga baterai bekas KBL Berbasis Baterai dapat didaur ulang atau dijadikan energi penyimpanan sekunder, sehingga ekosistem "end to end" dari KBL Berbasis Baterai dapat terbentuk,” ujarnya, dalam keterangan tertulis.

Hendro menyampaikan kajian life cyle emision oleh Polestar dan Rivian pada 2021 di Eropa, Amerika Utara, dan Asia Pasifik. Emisi yang dihasilkan kendaraan listrik lebih rendah, yaitu 39 tonnes of carbon dioxide equivalent (tCO2e) jika dibandingkan dengan kendaraan listrik hybrid (HEV) sebesar 47 tCO2e, dan kendaraan konvensional atau internal combustion engine (ICE) yang mencapai 55 tCO2e. Angka emisi ini berbeda tidak terlalu jauh per ton CO2 per kilometernya jika bersamaan bensin yang digunakan lebih bio atau green fuel," imbuh Hendro.

Hendro menekankan bahwa Life Cycle Emissions menunjukan jumlah total gas rumah kaca dan partikel yang dikeluarkan selama siklus hidup kendaraan mulai dari produksi hingga penggunaan dan pembuangan (disposal), ditunjukkan dengan satuan tonnes of carbon dioxide equivalent (tCO2e). “Masih adanya emisi ini sangat tergantung dari input energi bahan bakar dari hulu maupun hilir (kendaraan itu sendiri) dan secara gradual akan menurun jika bahan input ini dilakukan secara green fuel,” ucapnya.

Dalam mendorong percepatan EV, Menperin bersama Menkomarvest saat ini sedang merevisi Perpres 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Tujuannya, menarik pabrikan EV untuk masuk ke Indonesia untuk memperkuat supply agar masyarakat juga dapat menikmati kendaraan listrik dengan harga terjangkau.

Selain itu pabrik baterai yang direncanakan mulai beroperasi pada 2025 dapat menekan harga kendaraan EV mengingat cost factor terbesar ada di komponen baterai.

"Sedikit mengritik KBPP yang disampaikan Ahmad Syafrudin yang memahami konteks secara tidak utuh, sehingga disarankan agar melihat roadmap EV yang dibuat Kemenperin serta langkah strategis untuk masuk Net Zero Emision lebih cepat dari target Pemerintah tahun 2060 melalui sektor alat transportasi yang mengarah green mobility dengan porsi EV roda dua dan empat yang lebih banyak di tahun 2035 dibanding kendaraan berbahan bakar fosil. Dalam konteks PLTU dan emisi BEV, Hybrid dan ICE yang disebut KBPP tidak salah, yang salah oleh mereka (KBPP) memahami statement Menperin yang sepotong dan tidak utuh," pungkas Hendro.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya