Liputan6.com, Jakarta - Kasus bully belakangan acap kali menempati ruang tertentu di sebegitu banyak titik lampu sorot atensi publik. Ada pembelaan, emosi, simpati, empati, bahkan kemarahan, yang menghiasi guliran perkara ini.
Saking hanyut dalam alur, tak sedikit orang kemudian jadi tak objektif dan melakukan tindakan yang sangat disayangkan. Ya, mereka berbondong-bondong melakukan bully terhadap terduga pelaku kasus perundungan yang tengah jadi topik hangat perbincangan.
"Kita suka tidak sadar, bagaimana pelaku bully, kita bully juga. Kita mengeluarkan kata-kata negatif, mendesak, memojokkan. sehingga kita juga akhirnya melakukan bully, " jelas Psikolog Klinis Rena Masri pada Liputan6.com lewat pesan singkat, Kamis, 25 April 2019.
Advertisement
Baca Juga
Hal ini, dikatakan Rena, biasanya terjadi karena banyak orang yang melakukan bully, akhirnya ikut marah, ikut kesal dengan kelakukan pelaku. Padahal, tindakan ini tentu membuat mereka jadi berada di status yang sama dengan pelaku bully.
Pemahaman bully yang belum sampai pada orang tersebut bisa jadi sebab lain ia dengan ringan hati memojokan pelaku perundungan. "Bisa juga karena tekanan sosial. Ada kecemasan kalau tidak melakukan bully, kita akan dijauhi, tidak ditemani, bahkan malah ikut di-bully," kata Rena.
Lingkaran lingkungan, di mana bully sudah sering terjadi dan dianggap wajar membuat banyak orang akhirnya tak sadar bahwa mereka tengah memojokkan orang tertentu dan menyakiti mereka, entah secara psikis atau fisik
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bagaimana Memperlakukan Pelaku Bully?
Bukan dengan kembali memojokkan pelaku bully, terdapat beberapa langkah lebih tepat yang bisa diambil guna memutus rantai perundungan. Rena menjelaskan, edukasi tentang bully pada pelaku merupakan step awal.
Juga, tak lupa memberi arahan pada keluarga. Dalam penanganannya, harus ada pengamatan tentang latar belakang keluarga. "Apakah keluarga menerapkan pola asuh yang sudah tepat, membantu perkembangan anak secara optimal. Adakah tindakan tertentu yang memengaruhi anak jadi pelaku bully," tutur Rena.
Pendampingan di sini, kata Rena, disesuaikan dengan bully yang dilakukan, apakah cukup pendampingan guru atau guru bimbingan konseling, ataukah perlu diajak untuk konsultasi ke psikolog, bahkan pendampingan di ranah hukum.
Kemudian, menggali faktor apa yang memengaruhi sehingga pelaku bisa melakukan bully. Dengan begitu, mata rantai sebab pelaku bully melakukan perbuatan tersebut bisa diputus dengan cara lebih tepat.
Di samping, Rena menegaskan, pelaku bully harus diberi konsekuensi yang bisa memberi efek jera. Konsekuensinya apa, hal itu sesuai dengan masing-masing orang. Karena satu konsekuensi bisa berdampak positif pada satu orang, tapi tidak untuk yang lain.
Advertisement
Jangan Menghakimi Pelaku Bully
Agar tak melakukan tindakan perundungan pada pelaku bully, ketahui lebih dulu apakah perlakuan Anda sudah masuk kategori perbuatan tersebut. Pasal, perundungan kadang berselimut dengan dalih bercanda.
"Kita memanggil seseorang dengan istilah yang mengandung hinaan pada fisik atau kekurangan. Itu patut waspada. Lalu, merendahkan atau merasa punya kontrol akan orang lain, itu termasuk bully. Jadi, apabila seseorang merasa tersakiti dengan apa yang kita katakan, kita harus waspada apakah kita sudah melakukan bully pada orang tersebut," papar Rena.
Mengedukasi diri sendiri jadi cara paling dasar agar tak jadi pelaku bully. "Terlebih, di zaman sekarang, harus ditambah dengan menggunakan media sosial secara bijak," tambah Rena.
"Sebelum posting sesuatu, sebelum comment, sebaiknya pikir dulu, apakah sudah benar atau tidak, apakah mengandung unsur menghina, merendahkan orang lain. jangan ikut-ikutan saja," katanya.
Rena menambahkan, jangan sampai merasa karena seseorang diduga pelaku bully jadi benar untuk memojokkan dan menghakimi orang tersebut. "Sebelum bertindak, ada baiknya pikirkan bagaimana perasaan orang tersebut," tutup Rena.