Liputan6.com, Jakarta - Media sosial baru-baru ini dibanjiri dengan potret yang menampilkan transformasi wajah dari aplikasi yang kembali viral, FaceApp. Aplikasi ini hadir dengan beberapa filter termasuk mengubah foto jadi terlihat lebih tua.
Menariknya, tren pemakaian aplikasi FaceApp turut diikuti oleh para selebritas hingga pesohor. Mereka lantas mengunggah foto perubahan wajah disertai tagar AgeChallenge lewat akun media sosial pribadi.
Terlepas dari filter yang membuat seseorang 'menjelma' dengan tampilan yang lebih tua dalam sekejap, ada fakta berbanding terbalik di kehidupan nyata. Bagi sebagian orang, menjadi tua adalah momok menakutkan.
Advertisement
Lantas, mengapa anggapan tersebut masih begitu menghantui masyarakat luas? Psikolog klinis dan sosiolog pun menjelaskan kepada Liputan6.com alasan di balik fenomena itu merujuk pada disiplin ilmu masing-masing.
"Karena (menjadi tua) identik dengan kelemahan daya ingat, ketidakmampuan, ketiadaan, ketergantungan dengan orang lain, hingga menurunnya energitas dan kekuatan fisik," ungkap Erna Karim, sosiolog Universitas Indonesia pada Jumat, 19 Juli 2019.
Baca Juga
Sementara menurut psikolog klinis, Kasandra Putranto, ketakutan menjadi tua karena adanya keyakinan usia berbanding lurus dengan keberhasilan karier, penghasilan, dan pasangan.
"Bahkan, banyak upaya melawan penuaan demi memperoleh keberhasilan, penghasilan dan pasangan," kata Kasandra.
Psikolog klinis Lita Gading menjelaskan secara psikologis, pada umumnya laki-laki dan perempuan takut menjadi tua. "Pandangan umum mengenai kondisi menjadi tua berkonotasi dengan tidak mampu lagi secara fisik, kesepian, tidak punya teman, ada penurunan daya pikir, finansial, kesehatan, atau pun aspek lainnya," jelasnya.
Faktor-faktor penyebab adanya ketakutan menjadi tua juga beragam. "Ketidakberdayaan serta keterisolasian secara sosial," kata Erna Karim.
"Ini terkait dengan persepsi dan sikap yang tertanam dalam diri, terutama dengan keyakinan keberhasilan, penghasilan, dan pasangan. Padahal semua itu tak beralasan. Keberhasilan tetap dapat diperoleh pada usia lanjut," tambah Kasandra.
Lita Gading menjabarkan faktor-faktor pemicu seperti gangguan kecemasan umum, fobia, paranoid, hingga gangguan panik. "Ada juga karena gangguan obsesif kompulsif, PTSD (Gangguan Kecemasan Pasca-stres), psikosomatis, dan beberapa gangguan kecemasan lain," lanjut Lita.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Adanya Pengaruh dari Lingkungan Sosial
Ketakutan menjadi tua tak hanya dipicu oleh ragam faktor yang telah disampaikan sebelumnya, tetapi juga karena adanya pengaruh dari lingkungan sosial yang kian memperparah.
"Iya, karena kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang "memaksa" orang-orang berusia lanjut takut tidak dihargai lagi dengan anggapan ketidakmampuan dan ketidakberdayaan mereka untuk memberikan kontribusi pemikiran/tenaga/finansial," ungkap Erna.
Ia menambahkan, kaum lansia yang biasa bekerja mendapatkan penghasilan, setelah pensiun akan kehilangan pekerjaan, relasi, penghargaan, penghormatan, fasilitas, atau imbalan dari kantor. Menilik pada hakikatnya, manusia bekerja untuk mendapatkan penghasilan, relasi sosial, serta penghargaan.
"Selesai masa pensiun, semuanya tidak didapatkan. Penghargaan dan relasi secara sosial sebagai sebuah pengakuan seseorang diperlukan perannya dalam keluarga dan bermasyarakat," lanjutnya.
Lewat hal tersebut, orang akan selalu merasa aktual dan mendapatkan pengakuan masyarakat. Bila dikaitkan dengan perubahan era, memasuki era digital seperti adanya media sosial bisa mengakomodasi ketakutan-ketakutan tidak menjadi aktual.
Pengaruh lingkungan juga erat kaitannya dengan estetika. "(Lingkungan sosial) sangat berpengaruh karena gaya hidup dan kemajuan dari teknik kedokteran seperti skincare mau pun bedah plastik," kata Lita Gading.
"Sikap, persepsi, dan keyakinan memang salah satunya dipengaruhi oleh lingkungan, selain dipengaruhi oleh keluarga," jelas Kasandra Putranto.
Lantas, apakah ketakutan menjadi tua berdampak pada gaya hidup seseorang? "Dampaknya ternyata besar, sampai akhirnya orang berani melakukan operasi plastik atau sekedar memanipulasi foto," tambah Kasandra.
Sementara Lita mengungkapkan hal senada bagaimana dampaknya cukup besar terutama pada wanita karena nilai estetika menurun. Bahkan ketika disikapi dengan ekstrem, ketakutan akan berdampak psikologis yang sangat tinggi.
"Karena rasa takut membuat bereaksi berlebihan, apa pun dilakukan demi sesuatu yang dianggap bisa menarik lagi hingga tidak berpikir realistis seperti pergi ke dukun, pasang susuk, operasi plastik, dan memakai suntik-suntik dari yang tidak kompeten, pakai krim pemutih ilegal sampai ketergantungan dengan narkoba agar kepercayaan diri naik dan tetap diakui oleh teman atau lingkungan," jelasnya.
Dari kacamata sosiolog, secara kuantitatif persentase, Erna belum pernah melakukan penelitian soal dampak ketakutan pada gaya hidup. "Tetapi secara kualitatif, beberapa indikasi menunjukkan adanya ketakutan menjadi tua ditampilkan dengan postingan di WhatsApp grup, media sosial berbagai aktivitas kekinian para lansia bahwa mereka mengikuti perkembangan zaman dengan foto wisata, perjalanan spiritual keagamaan, kuliner, dan lainnya," kata Erna.
Advertisement
Upaya Tak Terlihat Tua dan Jangan Takut Tua
Dilanda perasaan tidak nyaman hingga ketakutan berlebihan menjadi tua biasanya disikapi berbeda-beda bagi setiap individu, mulai dari cara instan hingga percaya pada proses dengan memilih cara sehat. "Tergantung orangnya, ada yang ambil jalan pintas dengan operasi, tapi ada yang dengan cara hidup sehat makan sehat dan olahraga," kata Kasandra.
"Rajin membersihkan kulit wajah, leher, badan agar selalu cantik, merawat rambut, cukup istirahat, meluangkan waktu hangout atau sekedar ngobrol, menghindari minum alkohol, rajin berolahraga, pergi ke dokter kecantikan, operasi plastik, dan lainnya," tutur Lita.
"Merawat diri seperti mengikuti pola hidup sehat, berolahraga sesuai usia, mencari info terkini sesuai penampilan trendi, bermedia sosial ria, mencari teman-teman seangkatan, aktif dalam kegiatan reuni, dan lainnya," jelas Erna.
Menjadi tua adalah salah satu proses dalam kehidupan karena perubahan akan selalu ada. Kunci menghindari hal-hal negatif dalam proses menua adalah menerimanya.
"Tua adalah bagian dari kehidupan yang pasti datang dan harus dijalani. Ketakutan akan tua justru mempercepat proses penuaan. Lebih baik menerima proses alami dengan senang hati," ungkap Kasandra.
Hal senada pun disampaikan oleh Lita Gading. "Tua bukan momok yang menakutkan tetapi faktor alamiah yang patut disyukuri dan nikmati. Penting bagi yang sudah tua masih dapat bermanfaat dan tidak menyusahkan orang lain. Jika sampai bergantung dengan orang lain yang merawat, harus berlapang dada dan pasrah akan kehendak Maha Kuasa," jelasnya.
Lita menambahkan proses itu adalah bagian dari regenerasi, di mana menanamkan kepada kepada anak dan cucu agar menghargai orangtua karena mereka akan tua.
"Jangan mudah stres, jalani hidup seperti air mengalir. Dekatkan diri dengan Tuhan karena tua bukan momok yang menakutkan," tambahnya.
Sedangkan sosiolog Erna menyebut menjadi tua adalah sesuatu yang alami tetapi perlu ada persiapan secara mindset dan tubuh fisik serta relasi dan kemampuan finansial.
"Menjadi tua secara fisik, tidak berarti menjadi tua dan renta dalam relasi sosial, kemampuan berkontribusi secara pikiran dan finansial, gaya hidup," tutur Erna.