Liputan6.com, Jakarta - Indonesia saat ini seolah sedang dilanda kekacauan. Banyak isu sosial dan politik yang mencuat dan menjadi tuntutan masyarakat. Sejak akhir September 2019, perihal kinerja DPR tentang RUU Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) hingga UU KPK diperdebatkan banyak pihak. Peliknya berbagai macam masalah konstitusional membuat salah satu masalah darurat lainnya tenggelam, yaitu soal lingkungan.
Padahal, dalam Tujuh Tuntutan Mahasiswa yang digaungkan saat demonstrasi pada 23 September lalu, ada satu poin yang menyebutkan bahwa pemerintah harus mengusut dan mengadili secara tegas pihak elit yang bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan di Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
Dari Agustus hingga September, masalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan dan Sumatera menjadi pengganggu masyarakat. Banyak yang jatuh sakit hingga meninggal. Keberadaan flora dan fauna juga menjadi terancam punah.
Tak hanya terjadi di Indonesia, dunia sebenarnya tengah mengalami berbagai masalah yang memengaruhi iklim bumi. Contohnya, hutan Amazon sebagai penyedia oksigen bumi sebesar 20 persen juga terbakar. Hal ini menyebabkan semakin cepatnya perubahan iklim, seperti suhu yang semakin panas dan perubahan cuaca yang semakin sulit diprediksi.
Bukan hanya karena hutan yang terbakar, jika ditelaah lebih dalam bumi secara terus menerus melemah karena ulah manusia. Pesatnya perkembangan berbagai industri menyebabkan meningkatnya temperatur bumi. Di Indonesia, studi panel ilmiah menunjukkan proyeksi kenaikan temperatur bisa menjadi 3,92 derajat celcius pada 2100. Kenaikan suhu ini akan turut memengaruhi tingkat curah hujan yang semakin rendah.
Melihat ironi yang ada, para aktivis lingkungan dunia yang terpimpin oleh Greta Thunberg melakukan aksi mogok kerja dan sekolah besar-besaran pada 20 September 2019 dan 27 September 2019 untuk menggaungkan 'Jeda untuk Iklim' agar masyarakat dan pemerintah sadar bahwa dunia akan lenyap jika tidak diselamatkan dari sekarang. Greta, remaja berusia 15 tahun asal Swedia yang dalam setahun terakhir dengan kencang meminta tanggung jawab pemerintah untuk mengatasi krisis iklim hingga tidak mau sekolah dan aksinya kini didukung banyak pihak.
Indonesia tak luput dari aksi ini. Diketahui, aksi tersebut dilakukan oleh lebih dari 50 komunitas pencinta lingkungan hidup di Jakarta. Tak hanya di Jakarta, Jeda untuk Iklim juga dilakukan di 18 kota lainnya dari Aceh hingga Kupang. Total terdapat 185 negara yang turut serta dalam aksi ini dengan lebih dari 7,6 juta orang sebagai partisipan.
* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp 5 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com di tautan ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Komitmen Pemerintah Indonesia
Pada 23 September lalu, para pemimpin dunia berkumpul di kantor pusat PBB di New York, Amerika Serikat dalam acara Climate Action Summit. Acara ini bertujuan untuk menyampaikan impelemntasu program pemerintah untuk menghadapi masalah iklim yang telah disepakati pada 2015 melalui Paris Agreement.
Dalam kesepakatan tersebut, pemerintah diwajibkan untuk membatasi kenaikan rata-rata suhu global di bawah dua derajat celcius. Indonesia telah menetapkan komitmennya melalui ratifikasi Paris Agreement dengan UU Nomor 16 Tahun 2016.
"Kita tidak lagi memiliki keleluasaan maupun pilihan selain meningkatkan ambisi pengendalian perubahan iklim. Dalam menghadapi kenyataan ini, aksi iklim harus konkret dan realitis," tutur Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia dalam sambutannya pada pertemuan Paris Agreement tersebut.
Indonesia memberikan komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 hingga 41 persen per 2030. Komitmen ini dituangkan dalam berbagai komponen pembangunan berkelanjutan dalam sisi pangan, air dan energi.
Selain itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar mengatakan dalam sambutannya di Festival Iklim Indonesia 2019 bahwa pemerintah sedang memprioritaskan kapasitas sumber daya manusia pada setiap lini kegiatan. Hal ini diharapkan agar masyarakat bisa menjalankan perannya sebagai agen perubahan, terutama dalam hal lingkungan ini.
"Khususnya untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan, Bapak Presiden menegaskan bahwa pencegahan sangat penting dalam penanganan kebakaran. Jangan sampai api membesar, kemudian berupaya untuk dipadamkan. Untuk itu, tentunya peran serta aktif SDM di tingkat tapak menjadi sangat penting," kata Siti. (Novi Thedora)
Advertisement