Legenda Sayur Lodeh yang Dipercaya Bisa Mengusir Wabah

Sayur lodeh diyakini sudah berusia ratusan tahun. Ada yang menyebut sayur itu telah ada pada abad 10.

oleh Putu Elmira diperbarui 18 Mei 2020, 11:07 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2020, 11:01 WIB
Lodeh Tujuh Rupa
Lodeh tujuh rupa jadi tradisi masyarakat Yogyakarta untuk menolak bala (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Jakarta - Menurut legenda, ketika wabah datang ke Kota Yogyakarta, Sultan memerintahkan warganya untuk memasak sayur lodeh dan tinggal di rumah selama 49 hari. Wabah itu berakhir. Hal itu berlanjut hingga hari ini.

Dilansir dari BBC Travel, Senin (18/5/2020), sayur lodeh adalah kari sayur sederhana yang terbuat dari tujuh bahan utama dan bumbu santan pedas. Ahli gizi yang telah mempelajari hidangan ini menunjukkan manfaat tambahan bagi kesehatan seperti lengkuas, yang dianggap memiliki kualitas anti-inflamasi.

Mereka menduga bahwa hidangan ini dibuat dari bahan-bahan musiman menjadikannya sajian sempurna untuk karantina. Tetapi yang paling penting adalah perintah Sultan untuk memasak sayur lodeh adalah daya tarik bagi solidaritas sosial. Seluruh kota yang memasak hal yang sama pada saat yang sama menciptakan rasa kebersamaan yang kuat.

"Seperti banyak aspek kepercayaan orang Jawa, tujuannya adalah untuk menghindari kemalangan," kata Revianto Budi Santoso, seorang arsitek, guru, dan siswa budaya Jawa.

"Menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan diprioritaskan daripada mencapai sesuatu secara individual. Orang Jawa berpikir bahwa ketika tidak ada halangan, kehidupan menjaga dirinya sendiri," tambahnya.

Makanan Jawa secara keseluruhan kaya akan simbolisme. Misalnya, nasi tumpeng, campuran daging dan sayuran yang dimahkotai oleh menara nasi kuning berbentuk kerucut. Presentasi hidangan seharusnya mencerminkan tatanan dunia di bawah Tuhan.

Nasi kuning adalah hidangan nasi kuning aromatik yang dianggap membawa berkah bagi rumah dan bisnis baru. Juga jamu, minuman kunyit mengambil namanya dari kata Jawa yang berarti "doa untuk kesehatan" dan diklaim untuk memberi ketenangan.

Sayur lodeh memperluas simbolisme ini secara linguistik dan numerologis. Masing-masing dari tujuh bahan utama yang ditambahkan ke dasar santan, melinjo, daun melinjo, labu, kacang panjang, terong, nangka dan tempe, memiliki makna simbolis yang berasal dari bunyi suku kata.

Dalam bahasa Jawa, wungu dari terong wungu berarti ungu, tetapi juga sesuatu seperti "bangun", sedangkan lanjar dari kacang lanjar (kacang hijau) sama dengan "berkah". Kumpulkan tujuh item dan Anda memiliki sesuatu yang hampir menyerupai mantra.

Ritual memasak sayur lodeh adalah contoh slametan, sejenis ritual komunal yang diidentifikasi oleh antropolog Clifford Geertz sebagai ciri utama budaya Jawa. Salah satu ciri khas slametan adalah fatalismenya, sayur lodeh dilakukan tanpa banyak harapan bahwa itu benar-benar akan berhasil.

"Sangat menarik bahwa sayur lodeh bukan hal yang individual. Ini merupakan respons terhadap kemalangan yang sepertinya akan mengalahkan semua orang. Ini adalah upaya untuk mengurangi, sebanyak menghindari, sesuatu yang mungkin tak terhindarkan," kata Santoso.

Kompleks

Sayur Lodeh
Menikmati sajian nasi dan sayur lodeh sepuasnya di salah satu warung kopi kawasan Kaliurang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Sementara sayur lodeh mudah dibuat, asal-usulnya kompleks. Beberapa sarjana percaya bahwa tradisi ini merentang kembali ke masa kejayaan peradaban Jawa Tengah di abad ke-10, di mana lodeh memungkinkan penduduk untuk berlindung dengan aman selama letusan besar-besaran Gunung Merapi pada 1006.

Sejarawan makanan seperti Fadly Rahman meneliti sayur lodeh telah ada sejak abad ke-16 setelah Spanyol dan Portugis memperkenalkan kacang panjang ke Jawa. Yang lain berpendapat bahwa itu adalah "tradisi kuno" yang diciptakan pada abad ke-19 pada pergantian abad ke-20, para intelektual Yogyakarta berada di jantung Kebangkitan Nasional Indonesia, sebuah periode ketika banyak mitos nasional ditemukan dengan berbagai cara, dirayakan dan diciptakan.

Legenda sayur lodeh diperkuat di awal abad ke-20. Contoh paling terkenal berasal dari 1931 ketika pada masa pemerintahan Sultan HB VIII, Jawa menderita gelombang wabah pes berturut-turut selama lebih dari dua dekade.

Tetapi catatan-catatan juga menunjukkan bahwa sayur lodeh dimasak untuk merespons krisis pada tahun 1876, 1892, 1946, 1948, dan 1951. Lama kelamaan sayur lodeh menjadi populer di seluruh kepulauan Melayu. Dengan cepat menjadi sulit untuk mengisolasi mengapa, kapan dan bagaimana piringan berevolusi.

Sejarawan makanan Khir Johari percaya bahwa pertanyaan seperti itu tidak relevan. "Ketika kita melihat sejarah makanan, godaannya adalah mencoba dan bergabung dengan titik-titik sehingga Anda berakhir dengan kisah monosentris. Tetapi mungkin ada banyak pusat penciptaan," kata Johari.

"Komunitas Peranakan Cina di Singapura menyajikan sayur lodeh sebagai semacam sup sayuran kuning yang Anda makan dengan lontong. Sementara orang Jawa-Singapura membuat lodeh putih tanpa kunyit," tambahnya.

Bagi Johari, transformasi sayur lodeh karena menyebar melalui tambalan budaya yang membentuk Kepulauan Melayu menggambarkan interaksi antara makanan, kebiasaan sosial dan lingkungan.

Sementara lahan pertanian subur di sekitar Yogyakarta memasok sayuran yang memungkinkan penduduk desa menghadapi wabah dan letusan gunung berapi, wilayah ini didominasi oleh simpul maritim utama di mana karantina berarti memaksakan isolasi pada wisatawan yang baru tiba.

Di luar Yogyakarta, sayur lodeh mungkin telah kehilangan arti sebenarnya, tetapi masih diakui sebagai hidangan yang entah bagaimana lebih dari sekedar makanan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya