Mbah Lindu, Penjual Gudeg Tertua di Yogyakarta Tutup Usia

Mbah Lindu menjual gudeg di Yogyakarta sejak sebelum masa pendudukan Jepang di Indonesia.

oleh Yanuar H diperbarui 13 Jul 2020, 09:10 WIB
Diterbitkan 13 Jul 2020, 09:06 WIB
Gudeg Legendaris Mbah Lindu jadi Buah Bibir Medsos-02
Berjualan di sebuah pos ronda di Jalan Sosrowijayan kota Jogja, ia diduga sebagai penjaja tertua hidangan itu dalam usia 97 tahun.

Liputan6.com, Jakarta - Berita duka datang dari Yogyakarta. Penjual gudeg legendaris di Kota Pelajar, Biyem Setyo Utomo atau yang akrab disapa Mbah Lindu, meninggal dunia pada Minggu, 12 Juli 2020.

Mbah Lindu mengembuskan napas terakhir di usia 100 tahun. Semasa hidup, Mbah Lindu berjualan di sebuah pos ronda di di Jalan Sosrowijayan, Yogyakarta. Ia turut dibantu oleh buah hati kelimanya, Ratiyah.

Mengutip dari Merdeka.com, Senin (13/7/2020), Ratiyah menjelaskan Mbah Lindu tutup usia karena penyakit tua. Sang legenda gudeg ini meninggal di kediamannya di Klebengan Blok E-6, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY.

Dikatakan Ratiyah, sebelum meningal, Mbah Lindu pada Sabtu, 6 Juli lalu sempat terjatuh di dapur. Usai mendapat perawatan di RS Panti Rapih selama dua hari,ia diperbolehkan pulang.

"Kata dokternya memang tidak ada yang sakit. Memang karena sudah tua saja. Kemudian disuruh pulang ke rumah. Di rumah ya masih sempat membantu masak dan mengupas telur," kata Ratiyah.

Mbah Lindu rencananya akan dimakamkan pada hari ini, Senin (13/7/2020) pukul 11.00 WIB. Ratiyah menambahkan, pemakaman umum Klebengan akan menjadi tempat peristirahatan terakhir sang penjual gudeg legendaris.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Sosok Mbah Lindu Semasa Hidup

Gudeg Legendaris Mbah Lindu jadi Buah Bibir Medsos-04
Mbah Lindu berjualan dari pukul 5.00 hingga 10.00 di sebuah pos ronda tak jauh dari keramaian Malioboro.

Para penikmat kuliner gudeg, pasti sudah tidak asing dengan sajian yang dijajakan oleh Mbah Lindu. Ia menjadi adalah penjual gudeg legendaris yang telah tersohor seantero negeri.

Dikutip dari Kanal Global Liputan6.com, semasa hidup, Mbah Lindu berjualan dari pukul 5.00 hingga 10.00 WIB, tak jauh dari keramaian Malioboro. Ia berjualan dengan kondisi yang sederhana.

Mbah Lindu duduk di tengah dan dikelilingi panci dan wakul besar yang berisi lauk-lauk gudeg. Para pembeli yang memilih makan di tempat duduk di bangku 1,5 meter yang tersedia.

Bagi mereka yang memilih pesan untuk dibungkus, Mbah Lindu mengemasnya dengan cara kuno yakni dengan 'dipincuk' atau daun pisang dijepit dengan lidi. "Si mbah sendiri yang memasaknya. Resepnya masih sama dari dulu ya seperti ini," ujar Mbah Lindu dalam bahasa Jawa, kepada Liputan6.com, Selasa, 19 Januari 2016 lalu.

Kesetiaan Mbah Lindu pada gudeg telah dibuktikan sejak dulu. Kala itu, awalnya ia harus berjualan keliling Yogyakarta dengan kaki dari rumahnya di Klebengan.

"Nek kapane iki aku wis lali. Sak durunge Jepang teko. (Tahunya kapan saya sudah lupa, tapi sebelum Jepang datang). Wong Jepang datang itu saya sudah punya anak satu. Jualannya ya saya gendong, lalu jalan kaki berkeliling. Zaman dulu kan tidak ada bus kota," tambahnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya