Liputan6.com, Jakarta - Pengaturan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) pada 5 Oktober 2020 lalu menuai polemik. Pasal mengenai persetujuan lingkungan jadi salah satu yang disorot. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersikukuh aturan tersebut tak mengubah prinsip dan konsep dari pengaturan sebelumnya.
Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan KLHK, Ary Sudijanto, menyebut perubahan dalam UU Cipta Kerja lebih diarahkan pada penyempurnaan kebijakan dalam aturan pelaksanaannya. Hal tersebut merujuk tujuan UUCK, yakni memudahkan setiap orang dalam memperoleh Persetujuan Lingkungan dengan tetap memenuhi ketentuan yang ditetapkan.
"Perubahan itu terkait dengan perubahan nomenklatur perizinan karena semua izin itu kemudian diubah menjadi yang namanya perizinan berusaha," kata Ari dalam Bincang Undang-Undang virtual "AMDAL untuk Perlindungan Lingkungan", Rabu, 14 Oktober 2020.
Advertisement
Baca Juga
Persetujuan Lingkungan adalah hasil keputusan dokumen Amdal yang jadi syarat dikeluarkannya perizinan berusaha itu. Amdal hanya diterapkan pada usaha dan atau kegiatan dengan risiko tinggi.
"Di dalam UUCK ini pendekatan yang dilakukan disebut RBA (Risk-Based Approach), pendekatan berbasis risiko, jadi Amdal itu dikenakan kepada kegiatan yang digolongkan sebagai berisiko tinggi, UKL-UPL akan dikenakan bagi kegiatan yang berisiko menengah, dan kegiatan yang berisiko rendah itu cukup dengan Nomor Induk Berusaha (NIB)," lanjutnya.
Adapun kriteria usaha dan atau kegiatan tersebut masih mengacu pada peraturan-peraturan sebelumnya. Hal tersebut untuk menjawab kekhawatiran publik soal isu perlindungan lingkungan tidak ditegaskan dalam keputusan izin usaha.
Penilaian Kelayakan Lingkungan (Amdal) yang selama ini dilakukan oleh Komisi Penilai Amdal (KPA), baik yang ada di Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota hanya diubah menjadi penilaian Kelayakan Lingkungan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan membentuk suatu lembaga yang bernama Lembaga Uji Kelayakan (LUK).
"Sebelumnya tiap Provinsi atau Kabupaten/Kota hanya dimungkinan untuk dapat membentuk satu KPA saja. Hal ini menjadi salah satu bottleneck lambatnya pengurusan Izin Lingkungan yang memperlambat pengurusan izin berusaha di Indonesia," katanya.
Ia menambahkan, dalam peraturan sebelumnya, masyarakat hanya dapat mengakses hasil akhir keputusan Amdal. Tetapi dengan terbitnya UUCK ini, pemerintah mengklaim sistem informasi akan disusun lebih baik melalui sistem elektronik yang akan dibangun pemerintah.
"Sehingga masyarakat tidak hanya bisa mengakses hasil akhirnya, namun juga dapat mengakses prosesnya," ungkap Ari.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengungkapkan bahwa KLHK telah membentuk Tim Penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), yaitu Tim RPP Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Tim RPP Bidang Kehutanan, dan Tim RPP Bidang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Denda Administratif.
"Pembentukan Tim RPP ini sesuai instruksi Presiden agar segera disusun Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan UUCK agar implementasi dari UUCK dapat segera diterapkan, serta menghindari perbedaan penafsiran di masyarakat yang cenderung negatif terhadap undang-undang cipta kerja ini," ucap Menteri LHK.
Sebagai rencana tindak lanjut dari penyusunan RPP, Menteri LHK mengaku telah dan sedang mengkompilasi masukan dari publik atas rencana penyusunan RPP. Selanjutnya akan dilakukan Rapat Pimpinan untuk menyusun pembulatan draft di tingkat KLHK. Ia menyebut draf akan dikonsultasikan kepada akademisi/pakar/praktisi/pemerhati dan stakeholders lainnya, sebelum didiskusikan/dikonsultasikan kepada publik.
Selanjutnya, draf akan diharmonisasikan dengan Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah. Hasil akhir draft tersebut akan dilaporkan KLHK kepada Menko Perekonomian.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tanggapan WALHI
Manajer Kampanye Air, Pangan, Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu Perdana, menyampaikan tanggapannya terkait pengaturan Amdal dalam UUCK tak mengubah prinsip dan konsep dari pengaturan sebelumnya.
"Jika tidak ada yang berubah dari konsep dan secara prinsip, terus kenapa butuh Undang-Undang baru? Yang kedua, terkait penyederhanaan kebijakan, rencana turunan yang terkait sektor lingkungan hidup saja dan kehutanan itu ada 22, jadi apanya yang sederhana?" kata Wahyu saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 15 Oktober 2020.
Wahyu menyoroti soal hal yang berbeda dari izin lingkungan sebelumnya dan yang kini. Di mana disebutkan Amdal masih ada, izin lingkungan, dan dikatakan dapat menjadi syarat usaha, namun diklasifikasi sesuai risiko rendah, sedang, dan tinggi.
"Konsep lingkungan, punya Amdal yang awalnya dulu empat dokumen. Isinya terdiri KA-Andal, Andal, UKL-UPL. UKL-UPL kemudian disimplifikasi kan punya dampak terhadap baik implementasi ataupun perlindungan," lanjutnya.
"Pasti sering jawaban yang disampaikan adalah 'kami akan perjelas itu nanti di peraturan pemerintah', padahal Undang-Undang sebelumnya cukup rigid, kalau kemudian itu disimplifikasi dalam Undang-Undang pemerintah dalam hierarki perundang-undangan tidak bisa aturan di bawahnya bertentangan dengan aturan di atasnya," tutur Wahyu.
Ia juga menyebut UU Cipta Kerja menghilangkan ruang publik karena seluruh kewenangan ditarik ke pusat dengan keberadaan Lembaga Uji Kelayakan. Hal tersebut dikhawatirkan malah memperlama respons atas masalah di daerah.
"Ketika semuanya ditarik ke pusat, enggak usah jauh-jauh misalnya Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, Maluku, yang di Jawa saja ada berapa titik yang cukup punya hambatan transportasi. Kemudian jika ada gangguan, butuh mekanisme komplain langsung, kemudian dijawab dalam Cipta Kerja dan memsimplifikasi," ujarnya.
"Kalau dahulu terkait informasi lingkungan yang uji lingkungan ini dijelaskan bahwa yang bisa informasi lingkungan disampaikan dengan cara yang mudah diakses dan mudah didapatkan masyarakat. Kemudian disimplifikasi di UUCK menggunakan informasi elektronik, Jawa ini enggak semuanya punya sinyal, ada satu hak informasi yang berdampak pada hak lingkungan hidup masyarakat yang akan hilang," tambah Wahyu.
Menyinggung pihak yang terlibat dalam Tim Uji Kelayakan, Wahyu membandingkan Komisi Amdal dan Lembaga Uji Kelayakan. Di dalam struktur Komisi Amdal, akademisi hingga pemerhati lingkungan dapat masuk sehingga terciptanya ruang kontrol.
"Sekarang itu semua ditarik ke pusat. Isinya pemerintah pusat, diklaim ada wakil pemerintah daerah dan tim yang tersertifikasi, tapi kan makin jauh kontrolnya," jelasnya.
Ia juga mengkritisi definisi kelompok masyarakat terdampak yang dulu tidak dibatasi. Dalam UU Cipta Kerja, arti masyarakat terdampak disebut disempitkan hanya masyarakat terdampak langsung. "Padahal dalam banyak kasus kebakaran hutan, pencemaran yang menerima dampak tidak selalu orang yang berada pada side project sebuah korporasi," jelasnya.
"Sudah begitu, salah satu yang jarang disebutkan ialah soal gugatan lingkungan, dahulu disebutkan izin lingkungan dalam Undang-Undang PPLH itu bisa dicabut melalui Tata Usaha Negara atau Pengadilan Tata Usaha Negara, sekarang pasal itu dihilangkan, otomatis hilang mekanisme melakukan gugatan lingkungan," tambah Wahyu.
Advertisement