Liputan6.com, Jakarta - Masih ingat dengan potret komodo berdiri mengadang truk di Pulau Rinca? Kasus yang dikenal sebagai kasus Jurassic Park itu menyita perhatian publik lantaran pemerintah dianggap menyalahi aturan pembangunan di pusat konservasi demi membangun infrastruktur pariwisata.
Terkait insiden tersebut, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif akhirnya buka suara. Deputi Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf Hari Sungkari menyebut potret tersebut tak menampilkan realita sebenarnya.
Advertisement
Baca Juga
"Itu truk mogok, kemudian komodo datang. Mungkin dia penasaran. Kalau komodo terganggu, dia tidak mungkin akan menampakkan diri, pasti sudah bersembunyi atau dia bakal masuk ke permukiman warga," kata Hari dalam 'Bincang Editor: Potensi dan Kondisi Pariwisata di Era Pandemi', Selasa (17/11/2020).
Ia menyebut pembangunan infrastruktur itu merupakan respons Indonesia atas teguran dari UNESCO pada tahun lalu. Menurut Hari, Taman Nasional Komodo sebagai salah satu situs warisan dunia kelebihan kapasitas karena kunjungan wisatawan yang tak dibatasi. Padahal sebagai pusat konservasi reptil purba, tempat itu harusnya menjaga caring capacity.
"Kita desain ulang destinasi di sana," ujar dia.
Desain ulang itu meliputi pembangunan konstruksi jalur pejalan kaki yang dibuat menggantung agar komodo tetap bisa berjalan bebas di bawahnya. Selain itu, bangunan-bangunan yang ada di sana juga ditata ulang, seperti bangunan untuk penjaga Taman Nasional Komodo.
"Kita rekonstruksi sesuai saran pemerhati lingkungan dan UNESCO. Itu lagi dibangun, bukan merusak tapi memperbaiki," sambung Hari.
Â
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Pembatasan Kapasitas
Hari juga mengatakan, pembangunan jalan turis diyakini bisa membatasi pergerakan wisatawan di kawasan tersebut. Tanpa jalur tersebut, turis bisa bebas berkeliaran ke berbagai tempat dan masuk dari pintu mana pun.
"Kalau nanti dibatasi. Akses masuknya hanya satu pintu. Jalurnya sudah ditentukan," kilahnya soal pembangunan jalur turis tersebut.
Selanjutnya, jumlah orang yang bisa mengunjungi kawasan tersebut juga akan dibatasi. Untuk Resort Loh Liang hanya diperkenankan 250 orang per hari, sedangkan pengunjung Resort Loh Buaya hanya 150 orang per hari.
"Sebelum pembangunan itu, angkanya bisa dua kali lipatnya per hari," ucap dia.
Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), sebuah LSM, menyampaikan ketidaksetujuannya atas proyek wisata ini. Dikutip dari kanal Regional Liputan6.com, Walhi menyoroti ketiadaan analisis mengenai dampak lingkungan dan rencana pengelolaan lingkungan (UKL) dan rencana pemantauan lingkungan (UPL) untuk mengukur dampak pembangunan terhadap lingkungan maupun keberadaan komodo.
"Kami adalah anggota Komisi Penilai Amdal provinsi," kata Umbu Wulang Tanaamahu, Direktur Walhi NTT. "Sampai hari ini enggak ada amdal, enggak ada UKPL-UPL tapi pembersihan lahan sudah jalan."
Walhi, kata Umbu, sudah menyampaikan penolakan pembangunan itu karena risiko-risiko lingkungan sejak tahun lalu. Selain tak mendapat respons pemerintah, Walhi juga tak mendapat undangan membahas amdal proyek itu. "Aturannya tak boleh ada pembersihan lahan sebelum izin lingkungannya keluar," kata dia.
Seharusnya, kata Umbu, jika ingin mengembangkan pariwisata komodo, pemerintah fokus pada urusan sains dan konservasi habitat komodo, dalam urusan genetik, ekosistem, antropologi, dan hubungan sosial dengan masyarakat setempat. "Jadi, sains itu yang dipromosikan, wisata sains peradaban komodo," kata Umbu.
Advertisement