Liputan6.com, Jakarta - Bisnis keluarga, China Street Fritters, adalah salah satu dari dua gerai penjual ngoh hiang ala Hokkien yang tersisa di Hawker Singapura. Eksistensinya tengah terancam lantaran tak ada anggota keluarga yang tertarik melanjutkan bisnis keluarga. Pebisnis kuliner legendaris ini tidak punya pilihan lain selain mengambil langkah ekstrem demi "mencari penerus."
Melansir Channel News Asia, Selasa, 13 Juli 2021, dengan rencana pensiun pada Maret 2022, mereka telah menawarkan resep rahasia yang dijual seharga satu juta dolar Singapura (Rp10,7 miliar), awal tahun ini. Pemiliknya, Kok Hua, memberi tahu On The Red Dot bahwa jumlah uang yang akan dibagi di antara tim yang menjalankan bisnis itu "tidak banyak."
Advertisement
Baca Juga
"Satu juta dolar Singapura ini dibagi lima, hanya 200 ribu dolar Singapura (Rp2,1 miliar) per orang. Ini untuk masa pensiun," katanya. "Usia mengejar kami. Istri saya harus menjalani operasi lutut, lalu saya harus menjalani operasi pergelangan kaki."
Dengan berat hati, resep keluarga itu harus dijual karena baik ketiga anaknya maupun anak saudara laki-lakinya, tidak ada yang tertarik mengambil alih bisnis tersebut. Setelah berdiskusi, mereka akhirnya bersedia menjual resep pada orang luar.
Hua bercerita dirinya telah melihat tutupnya beberapa gerai di Maxwell Food Center karena generasi muda tidak mau mengambil alih bisnis. "Sayang sekali semua makanan tradisional 'terbuang' begitu saja," katanya.
Usia rata-rata penjual di Hawker Singapura sekitar 60 tahun. Pandemi COVID-19 makin mempersulit upaya mencari penerus yang telah jadi momok selama bertahun-tahun.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Hawker adalah Rumah Pertama
China Street Fritters melihat investor potensial menarik diri ketika pandemi melanda. "Perusahaan berkata, 'Kami akan mengadakan proyek,'' kenang Hua. "Itu karena mereka kehilangan uang di sektor lain. Mereka tidak mau menghasilkan uang untuk diinvestasikan dalam hal-hal lain."
Sesama penjaja di Maxwell Food Centre, Ng Chow Gee, yang menjual nasi bebek dan mi bebek, juga berharap "takdir" turun tangan untuk segera membawa penerus, karena anak-anaknya "mengejar impian mereka."
Ia mengaku sedih bahwa "anak-anak muda sekarang tidak mau menanggung kesulitan." Ia berkata bahwa ia mempekerjakan beberapa pekerja muda, beberapa dekade lalu, mengajari mereka cara mencuci bebek dan menyiapkan campuran rempah-rempah. Tapi, mereka tidak serius tentang perdagangan atau tidak sebegitu teliti.
Kondisinya pun bertambah buruk karena pandemi global. "Dua tahun terakhir ini benar-benar buruk," tuturnya. Meski begitu, ia belum mau pensiun.
"Hawker adalah rumah pertama kami. Rumah asli kami seperti hotel. Kami pulang untuk mandi dan tidur. Ketika bangun, kami turun ke sini, dan kami berada di sini sepanjang hari, di rumah ini," katanya.
Advertisement
Diperparah Pandemi
Sebelum batas negara ditutup rapat akibat pandemi, Maxwell Food Center populer di kalangan wisatawan. Bekas pasar yang berubah jadi pusat makanan pada 1987 ini menampung banyak pedagang kaki lima yang berasal dari kawasan China Street.
Jika penjaja warisan kuliner seperti yang ada di Maxwell terus tutup, Singapura perlahan akan kehilangan sebagian besar budaya Hawker, kata blogger makanan, Leslie Tay.
Budaya Hawker Singapura sendiri telah terdaftar sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO tahun lalu, dan "kami ingin menunjukkan pada dunia warisan jajanan kami," tambahnya. "Tapi sekarang, (wisatawan) dunia tidak bisa datang."
Pedagang kaki lima di kawasan pusat bisnis mengalami pukulan lebih besar, dengan sebagian besar pekerja kantoran bekerja di rumah. Tidak seperti restoran lebih mahal, mereka merasa lebih sulit mengakses platform pengiriman makanan, karena biaya yang dikenakan berarti menaikkan harga mereka. Banyak penjaja yang ingin makanan mereka tetap terjangkau, kata food blogger, Seth Lui.
Infografis Diplomasi Lewat Jalur Kuliner
Advertisement