Liputan6.com, Jakarta - Saat ini dunia digital merupakan lingkungan pertama masyarakat. Orang dengan mudahnya terkoneksi dengan dunia digital sehingga tak sedikit orang yang melemparkan komentar, tanpa memikirkan perasaan orang lain, dan tanpa simpati serta empati.
"Itu terjadinya biasanya, karena, pertama, adanya satu kekecewaan dalam diri kita sehingga terpancing karena sebuah konten. Kedua, di masa pandemi ini sulit orang secara emosional lebih cepat naik turun, lebih cepat tersulut juga," ujar psikolog Saskhya Aulia Prima dalam webinar bertajuk "Bincang Literasi Digital: Ciptakan Kebaikan di Platform Digital" secara daring, Jumat, 10 September 2021.
Advertisement
Baca Juga
Alasan ketiga adalah pengaruh sosial. Maksudnya, saat terus melihat komentar atau konten negatif, ada pancingan untuk ikut berkomentar negatif. Maka itu, Saskhya mengatakan senang dengan kampanye Ciptakan Kebaikan karena akan memancing orang lain berperasaan positif.
"Dengan begitu, maka akan melahirkan komentar yang positif pula," imbuh dia.
Sementara, Dennis Adhiswara dari Siberkreasi menyoroti peran gawai yang mendominasi kehidupan orangtua, khususnya di masa pandemi. "Di masa pandemi saat ini, bahkan gadget itu sudah menjadi baby sitter buat orangtua yang lagi sibuk," kata Dennis.
Masalahnya, kata Dennis, banyak pencipta konten atau tayangan, bahkan yang berkomentar, yang tidak sadar bahwa unggahan atau komentar itu bisa dibaca oleh anak yang di bawah umur atau orang yang kondisinya sedang kalut. "Kondisi tersebut juga bisa memancing hal yang negatif juga," tutur Dennis.
Ia berharap orang lebih berempati terhadap orang-orang yang memegang gawai. "Sekarang kalau kamu punya komentar jelek atau komentar yang menyakitkan, maka kamu tidak akan ditonjok di muka. Jadi sekarang karena sudah ada gadget, maka orang bisa komentar yang seperti itu (menyakitkan)," jelas Dennis.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Baik dengan Semua Orang
Dengan simpati dan empati serta solusi bagi komunitasnya, Dennis menilai bisa membuka pintu-pintu rezeki yang selama ini ditutup. Sebaliknya, pintu rezeki bisa tertutup karena menjelek-jelekkan dan merendahkan orang lain di dunia maya.
"Kalau orang marah-marah di comment, memangnya bisa tidur tenang. Nggak mungkin. Begitu tidur, maka akan kepikiran, ada yang balas nggak ya," kata Dennis sembari mengimbau mereka agar berkonsultasi dengan ahli dalam memanajemen kemarahan.Â
Sementara, Public Policy & Government Relations TikTok Indonesia, Faris Mufid mengungkapkan bahwa semua orang bisa menjadi kreator konten kreator. Tapi, ada syarat yang harus dimiliki, yakni memberikan keamanan dan kenyamanan.
"Kita harus menjaga lingkungan internet ini agar setiap orang yang menggunakan platform kita tidak merasa ketakutan saat meng-upload sesuatu, kami punya berbagai fitur," timpal Faris.
Advertisement
Dukungan Semua Pihak
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengaku terus berupaya untuk meningkatkan literasi digital masyarkat lewat berbagai inisiatif kegiatan, salah satunya dengan bekerja sama dengan TikTok. Penyebaran literasi digital perlu dukungan semua pihak, tidak hanya tugas pemerintah.
"Adanya berbagai inisiatif digital akan memfasilitasi dan semakin mendorong masyarakat digital Indonesia. Keadaan normal baru atau pascapandemi akan mempercepat proses digitialisasi di berbagai lini kehidupan kita," ujar Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo RI (Dirjen Aptika), Samuel A Pangerapan saat pembukaan webinar tersebut.
Ia berpendapat Indonesia perlu mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) dengan keterampilan digital yang sesuai untuk menghadapi perubahan ini. Samuel berharap dengan dengan literasi digital, akan membawa perubahan positif untuk Indonesia yang lebih baik. "Kita ciptakan inovasi-inovasi berkualitas dengan mengembangkan talenta dan memaksimalkan potensi masyarakat Indonesia," ujarnya.
Infografis: Daftar Perusahaan yang Terpuruk di Era Digital
Advertisement