Cerita Akhir Pekan: Tertipu Cinta di Dunia Maya

Banyak kasus penipuan terjadi dengan pura-pura cinta hingga bisa berujung ke tindak pidana.

oleh Komarudin diperbarui 06 Feb 2022, 10:22 WIB
Diterbitkan 06 Feb 2022, 10:06 WIB
Ilustrasi tertipu cinta di dunia maya
Ilustrasi tertipu cinta di dunia maya (dok.pexels)

Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan dunia teknologi membuat orang lebih bebas berkomunikasi dari awalnya yang susah berinteraksi. Mereka yang awalnya tidak nyaman berkomunikasi secara fisik, sekarang dengan nyaman berinteraksi karena kehadiran teknologi komunikasi.

"Teknologi juga mengintesified atau memperparah kondisi yang telah ada juga. Di masyarakat kita itu juga ada stereotipe-stereotipe tentang laki-laki dan perempuan, perempuan harus menikah, perempuan harus punya pasangan. Di sisi lain, secara manusiawi oran ini punya pasangan, kesepian, dan lain sebagainya," ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga Ketua Pusat Kajian Law, Gender, and Society UGM, Sri Wiyanti Edyyono saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu, 5 Februari 2022.

Dalam kondisi seperti itu, ada orang-orang yang berusaha untuk mengambil keuntungan dari orang-orang yang sedang berada dalam kondisi rentan. Rentan itu bisa juga terjadi pada anak-anak yang masih muda, seperti love scam atau penipuan, yang juga mengeksploitasi terhadap anak-anak.

"Caranya mendekati seolah-olah mereka anak muda, tapi ternyata yang satu suda dewasa dan yang satu masih muda. Itu kan banyak terjadi. Sebagian besar kasus yang saya tahu korban dari love scam itu perempuan-perempuan muda," ujar Wiyanti.

Karena di dalam komputer atau telepon, mereka tidak tahu apakah dia orangtua, berasal dari mana. Dengan cara mendekati itu kemudian membuat orang merasa senang.

"Kemudian terjadi mereka membangun kepercayaan, seolah-olah mereka cinta, suka. Pada umumnya mereka yang jadi korban itu terjadi tidak dalam waktu yang singkat, tapi butuh waktu yang lama, sehingga kemudian seolah-olah ada kepercayaan, dari situ secara pelah-pelan terjadi eksploitasi," imbuh Wiyanti.

Love scam itu banyak ragamnya, ada yang mengirimkan foto-foto mereka dengan tujuan untuk memperolah uang. "Ya, itulah fenomena yang terjadi. Suatu fenomena yang sangat memprihatinkan," tutur Wiyanti.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Keterbukaan

Ilustrasi scam, penipuan, phising.
Ilustrasi scam, penipuan, phising. Kredit: Mohamed Hassan via Pixabay

Menurut Wiyanti, untuk mengatasi persoalan "love scaming" itu tidak bisa dilakukan dengan cepat, tapi perlu penyadaran dengan keterbukaan. Seperi korban perlu untuk mencari teman untuk bercerita.

"Jadi caranya beragam. Terbuka saja, bahwa ia sudah menjadi korban love scaming, mencari bantuan segera agar situasi tidak berlanjut," kata Wiyanti.

Sebab kalau berlanjut maka akan bahaya. Ia mencontohkan seperti ada kasus sampai seseorang mengirimkan foto-foto dirinya, foto bagian tubuhnya, bahkan foto anak asuhnya secara telanjang.

"Itu akhirnya masuk ke dalam pornografi. Ada juga kasus, seseorang yang "diporoti" uangnya. Awalnya Rp5 juta, kemudian makin besar," imbuhnya. "Ada juga yang berjanji akan mengawini, tapi ada juga yang sadar ditipu karena orang itu mengetahui bahwa orang tersebut juga berubungan dengan orang lain," imbunya.

Selain penyadaran akan keterbukaan, hal lain yang perlu dilakukan adalah memutus kontak atau komunikasi, meski hal itu bukan sesuatu yang mudah. Mengapa? Karena hubungan yang sudah dalam, ketergantungan emosional. 

"Itu dari korban. Namun, ada juga dengan adanya kasus seperti ini justru menertawakan. Kemudian kita juga tidak menolong korban. Bahkan kalau kasus tersebut dilaporkan, orang malah mengatakan, kan kamu yang mengirimkan fotonya," imbuh Wiyanti.

Tindak Pidana

Love scam bahkan bisa berujung tindak pidana yang dilakukan secara online. Informasi itu disampaikan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK dalam unggahan di akun Instagram resmi mereka pada 6 Agustus 2021 lalu.

PPATK menuliskan, dalam melaksanakan tugas mencegah dan memberantas TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) dan TPPT (Tindak Pidana Pendanaan Terorisme) di masa pandemi banyak menemukan modus tindak pidana yang dilakukan secara online.

"Kejahatan yang marak di masa pandemi ini antara lain adalah tindak pidana penipuan melalui media sosial dengan modus Sex Scams atau Love Scams dengan kerugian tahun 2020 sampai 2021 mencapai miliaran rupiah dengan korban sebagian besar wanita yang berlokasi di luar negeri. Pada umumnya wanita yang menjadi korban berusia separuh baya dan berstatus lajang," tulis PPATK di awal unggahannya.

Kejahatan sex/love scam berawal dari perkenalan pelaku dan korban di media sosial, seperti Facebook. Dalam waktu singkat, perkenalan tersebut berlanjut dengan hubungan asmara antara pelaku dan korban. Dengan bujuk rayu, korban akan terpedaya dan bersedia memenuhi apa saja yang diminta oleh pelaku.

Secara garis besar, modus penipuan yang dilakukan pelaku digolongkan menjadi dua. Pertama, pelaku seolah-olah sedang mengembangkan usahanya sehingga butuh tambahan modal. Pelaku membujuk korban untuk meminjamkan dana untuk modal dan berjanji akan mengembalikan dana tersebut berikut keuntungannya.

Kedua, penipu akan merayu korban untuk mengirimkan foto bagian-bagian tubuh korban. Setelah foto terkirim, pelaku akan meminta korban mengirimkan sejumlah uang. Kalau korban menolak, pelaku akan mengancam korban untuk menyebarkan foto tersebut ke media sosial.

  

Infografis Waspada Penipuan Online Shop via Medsos

Infografis Waspada Penipuan Online Shop via Medsos
Infografis Waspada Penipuan Online Shop via Medsos. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya