Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan kereta api China telah jadi pusat perdebatan sengit karena menolak menjual pembalut di kereta. Banyak pihak menuduh perusahaan mengabaikan hak-hak perempuan dan mengikuti stigma usang yang melekat pada menstruasi.
Melansir SCMP, Kamis, 22 September 2022, perdebatan itu dipicu ketika seorang penumpang wanita berbagi secara online kekesalannya mencoba menemukan produk menstruasi di kereta api berkecepatan tinggi. Ia menyebut tidak membawa pembalut karena menstruasi datang lebih awal dari tanggal perkiraan.
"Saya tidak ingin lebih banyak wanita dipermalukan seperti itu, jadi saya mengangkat ini dan berharap bisa diselesaikan," tulis wanita yang tidak disebutkan namanya itu di Weibo, akhir pekan lalu.
Advertisement
Baca Juga
Percakapan online telah berpusat di sekitar apakah pembalut harus tersedia di kereta yang dioperasikan China Railway. Pihaknya menjual makanan ringan dan suvenir, tapi mengatakan selama akhir pekan bahwa pembalut wanita adalah "barang pribadi" yang "biasanya tidak dijual."
Seorang perwakilan layanan pelanggan dari hotline perusahaan mengatakan pada situs berita video Pear Video bahwa mereka menolak menjual pembalut karena itu adalah "barang pribadi." Juga, mengatakan pada penumpang untuk "bersiap".
Sementara banyak yang terkejut dengan tidak adanya produk menstruasi wanita di kereta dan meminta operator menyediakannya, yang lain berpendapat ini tidak masuk akal. Pasalnya, "hanya sebagian kecil penumpang yang membutuhkannya."
"Pembalut wanita tampaknya jadi masalah kecil, tapi di balik ini adalah fakta yang telah lama diabaikan: pengabaian hak-hak perempuan," kata Duan Tao, seorang profesor di Rumah Sakit Bersalin dan Bayi Pertama Shanghai.
Mengakhiri Stigma Menstruasi
Tao menulis di Weibo, Senin, 19 September 2022, "Kebanyakan pengambil keputusan urusan publik adalah laki-laki yang fokus pada hal-hal seperti bagaimana fasilitas publik dan transportasi harus dibangun. Meski ada keterlibatan perempuan, karakteristik biologis perempuan jarang diperhatikan."
China Comment, publikasi dua mingguan yang dijalankan kantor berita negara Xinhua, mendesak para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan kebutuhan perempuan. "Sebagai salah satu kebutuhan dasar perempuan, itu harus disediakan dalam masyarakat modern yang beradab, sama seperti kita berusaha memenuhi kebutuhan dasar masyarakat umum," katanya.
Meski kesadaran publik meningkat tentang hak-hak perempuan, menstruasi masih jadi topik tabu di China daratan. Orang cenderung menggunakan berbagai kata, seperti "bibi saya" sebagai eufemisme untuk "menstruasi."
"Mungkin hanya ketika kita akhirnya mengakhiri stigma menstruasi dan merasa bebas untuk membicarakannya secara langsung, pembalut akan jadi 'komoditas normal' alih-alih 'barang pribadi,'" kata seorang pengguna Weibo. Kondisi ini pun kontras dengan apa yang terjadi di Skotlandia.
Advertisement
Tersedia Gratis
Produk-produk menstruasi, termasuk tampon dan pembalut, telah diberikan secara gratis di Skotlandia bagi siapa saja yang membutuhkan. Mulai pertengahan bulan lalu, produk menstruasi akan tersedia secara cuma-cuma di sederet tempat seperti apotek dan pusat komunitas.
Keputusan bersejarah tersebut membuat Skotlandia jadi negara pertama di dunia yang menggratiskan produk menstruasi. Hal itu terealisasi berkat undang-undang yang disetujui parlemen negara itu pada 2020, melansir NPR.
"Menyediakan akses ke produk menstruasi (secara) gratis sangat penting untuk kesetaraan dan martabat," kata Sekretaris Keadilan Sosial Skotlandia, Shona Robison, dalam sebuah pernyataan.
Langkah itu juga menghilangkan hambatan finansial untuk mengakses produk mentruasi yang layak. Robison pun menyebut langkah itu "lebih penting dari sebelumnya" di era meningkatnya biaya hidup.
"(Saya) bangga dengan apa yang telah kami capai di Skotlandia. Kami adalah yang pertama tetapi tidak akan menjadi yang terakhir," kata anggota parlemen Skotlandia Monica Lennon, yang mulai mengajukan proposal pada 2016.Â
Berbeda dari Skotladia, Selandia Baru dan Kenya telah mendistribusikan produk menstruasi secara gratis di sekolah umum. Kesadaran telah tumbuh dalam beberapa tahun terakhir tentang bagaimana akses ke produk menstruasi dapat memengaruhi pendidikan dan stabilitas ekonomi bagi orang-orang yang membutuhkannya.
Terhubung dengan Depresi
Sekitar 14 persen mahasiswa Amerika Serikat (AS) berjuang membeli produk menstruasi, jumlah yang lebih tinggi di antara wanita kulit hitam dan Latina, menurut sebuah studi baru-baru ini oleh Universitas George Mason. Para peneliti menemukan bahwa mereka yang secara teratur berjuang membeli produk menstruasi lebih mungkin mengalami depresi.
Wanita yang berjuang membeli kebutuhan dasar dapat memilih melewatkan sekotak tampon, beralih ke kertas toilet atau kaus kaki sebagai gantinya. Sebuah survei terhadap wanita berpenghasilan rendah di St. Louis yang diterbitkan pada 2019 menemukan bahwa hampir setengahnya dilaporkan harus memilih antara makanan dan produk menstruasi di beberapa titik sepanjang tahun.
Penelitian telah menunjukkan bahwa kurangnya akses ke produk menstruasi dapat menyebabkan perempuan dan anak perempuan bolos sekolah atau bekerja. "Bayangkan seperti saat mencoba mengikuti tes matematika dengan ketakutan Anda akan membuat kesalahan," kata Dr. Shelby Davies dari Rumah Sakit Anak Philadelphia. "Seperti, bagaimana Anda fokus pada itu?"
Di AS, beberapa negara bagian telah meloloskan undang-undang yang mewajibkan sekolah K-12 negeri untuk menyediakan produk periode gratis, termasuk New York, Virginia, dan Oregon. Sekitar selusin negara bagian telah membebaskan produk menstruasi dari pajak penjualan.
Advertisement