Liputan6.com, Jakarta - Siapa yang tak pernah makan tempe dalam seumur hidup? Makanan hasil fermentasi kacang-kacangan ini menjadi salah satu opsi sumber protein nabati terbaik, terutama bagi yang menjalankan plant-based diet atau pola makan nabati.
Sederet manfaat dijabarkan Amadeus Diandro Ahnan Winarno, co-founder Tempe Movement. Salah satunya soal kandungan fitoestrogen yang kerap disalahartikan sebagai estrogen.
Advertisement
Baca Juga
"Ini yang digosipkan sebagai fitoestrogen, yang bikin takut memengaruhi kesuburan lelaki. Padahal, bukan persis estrogen, tapi molekulnya hanya mirip... Karena dari tanaman, si ilmuwannya bilang ya udah fitoestrogen. Ini yang bikin salah kaprah, jadi salah di branding-nya menurut saya," ujar lelaki yang akrab disapa Andro dalam Nutriclass Sesi 3: Sustainable Living for a Healthier Life, secara virtual Kamis, 27 Oktober 2022.
Faktanya, fitoestrogen adalah senyawa bioaktif yang bermanfaat untuk kesehatan. Nama lainnya adalah isoflavon. Kandungannya sudah ada dalam kedelai, tetapi jumlahnya dilipatgandakan melalui proses fermentasi. Senyawa itu, menurut Andro, ibarat senyawa bonus bagi tubuh, berbeda dengan makronutrien dan mikronutrien yang bila tidak dipenuhi, akan berefek gangguan kesehatan.
"Badan kita enggak minta, tapi kalau kita kasih, badan akan makin sehat," ucapnya.
Isoflavon banyak diteliti soal manfaatnya mencegah risiko kanker paru-paru dan kanker prostat. Di luar itu, tempe juga kaya akan vitamin B2, asam folat, kalsium, prebiotik, hingga serat.
"Seratnya tingkatkan bakteri baik, antioksidannya menurunkan bakteri buruk," jelas dia yang akan berefek pada menurunkan risiko obesitas, kesehatan pencernaan, malnutrisi, anemia, kesehatan tulang, kesehatan jantung, dan lain-lain.
"Kita punya harta terpendam yang akan membantu pola makan nabati... Kita fokus ke makanan nabati yang lokal dan kita suka," imbuhnya.
Ramah Bagi Bumi
Menurut riset, Andro menyebut orang Indonesia secara objektif mengonsumsi tujuh kilogram tempe per tahun. Angka itu berkontribusi pada pemenuhan protein hingga 10 persen, jauh lebih tinggi dari daging yang hanya 3,1 persen, telur 1,2 persen, dan tahu 8,1 persen.
Tempe menjadi salah satu rahasia mengapa tingkat konsumsi daging merah di Indonesia bisa berada dalam batas ideal, menurut standar Planetary Healthy Diet yang disusun oleh IEAT. Standar itu didefinisikan sebagai pola makan yang menyehatkan dan ramah lingkungan.
"Mereka (IEAT) menetapkan batasan karena daging merah sangat boros sumber daya lingkungan dan meningkatkan beberapa risiko kesehatan. (Batasan dibuat) supaya orang enggak cepet sakit dan buminya enggak cepet habis," ia menerangkan.
Dibandingkan dengan daging, produksi tempe empat kali lipat lebih efisien dalam penggunaan energi dan 20 kali lebih rendah dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca. Di samping itu, harganya juga lebih murah delapan kali dibandingkan harga daging sapi.
Faktor lingkungan semakin menjadi pertimbangan lantaran situasi Bumi yang makin tua. Diperkirakan jumlah manusia mencapai 10 miliar pada 2050 yang berarti lebih banyak lagi kebutuhan pangan yang harus dipenuhi. Dengan mengganti konsumsi daging merah dengan bahan nabati, bisa menghemat penggunaan lahan hingga 90 persen, dan menghemat air hingga 10 persen.
"Itulah salah satu alasan kenapa tren plant-based naik," ujar Andro.
Advertisement
Petualangan Kuliner
Di sisi lain, Rendy Dijaya, peneliti Nutrifood Research Center mengingatkan bahwa plant-based diet memiliki kelemahan yang harus diperhatikan. Pertama adalah kurang nutrisi, lantaran protein hewani mengandung lebih banyak asam amino esensial, dibandingkan sumber protein nabati.
Kedua, ada senyawa anti-nutrisi terkandung dalam protein nabati, seperti asam tripsin yang mencegah penyerapan protein pada tubuh. "Rasanya juga mungkin kurang favorable, mungkin lebih hambar. Ini jadi challenge yang kita hadapi. Kita perlu sustainable, tapi jangan sampai jadi bumerang untuk kesehatan kita," ia menambahkan.
Tempe, kata dia, bisa menyiasati permasalahan-permasalahan di atas. Selain itu, pelaku diet berbasis nabati juga dituntut lebih variatif mengonsumsi makanan utuh maupun mengonsumsi pangan fermentasi.
"Kita mesti think globally, tapi perlu act locally. Lakukan hal kecil tapi punya dampak," ia menambahkan.
Andro juga mengingatkan agar kita tak segan membumbui, terlebih tempe khususnya rendah sodium. Agar rasa tempe enak juga bisa dengan merendamnya dalam bumbu. "Tempe itu kayak spons, kalau kita marinate, itu lebih bagus," kata dia. Bisa pula dengan dimasak di api agar rasanya lebih keluar.
"Anggap itu sebagai petualangan kuliner," ucapnya mengingatkan.
Wajib Berkelanjutan
Rendy juga mengingatkan bahwa makanan adalah investasi. Bila diri terbiasa mengonsumi makanan yang tidak sehat, hasilnya tidak sehat pula. Sebaliknya, pola makan sehat akan membuat tubuh semakin sehat.
Lalu, seperti apa pola makan sehat? Ia menerangkan sebagai pola makan yang memiliki keseimbangan. Tujuannya untuk kesehatan baik fisik maupun psikologis. "Bukan makan jadi kayak paksaan atau siksaan," ujarnya.
Ciri khasnya ditandai dengan jumlahnya yang cukup dan bervariasi. "Rentangnya luas, berbagai makanan, karena tidak ada satu makanan yang bisa mencukupi semua kebutuhan kita."
Rujukannya adalah prinsip Isi Piringku yang dikampanyekan oleh Kementerian Kesehatan. Karbohidrat dipenuhi sepertiga, disusul dengan sayur dan buah-buahan yang mengisi setengah isi piring, dan sisanya baru protein. Plant-based diet pun demikian yang diprogram secara berkelanjutan.
"Mood sangat pengaruhi makan. Jangan karena pengen sustainable, tapi stres malah menimbulkan inflamasi di badan. Mau sehat, malah enggak, mau berkelanjutan malah enggak berkelanjutan," kata Andro.
Karena itu, makan harus dibuat menyenangkan. Tidak perlu tinggalkan daging merah sepenuhnya bila memang hal itu membuat kita tertekan. Kuncinya adalah pelan-pelan tapi berkelanjutan.
"Menurut saya, jangan kita makan yang jangan dimakan, tapi apa yang bisa kita nikmati," ucap dia.
Advertisement