Terobosan Baterai Berbahan Garam Laut, Diklaim Lebih Ramah Lingkungan dari Lithium

Baterai garam laut bukanlah konsep baru. Jadi, apa bedanya dengan yang sekarang?

oleh Asnida Riani diperbarui 16 Des 2022, 03:03 WIB
Diterbitkan 16 Des 2022, 03:03 WIB
Ilustrasi Bintang Laut
Ilustrasi garam laut (Image by lovepetforever from Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Inovasi produk yang berdampak lingkungan minimal terus diinisiasi banyak pihak. Yang terbaru, barang elektronik Anda akan segera bisa ditenagai baterai dari garam laut yang "sangat murah."

Melansir Euro News, Kamis, 15 Desember 2022, para peneliti telah menciptakan baterai murah baru dengan empat kali kapasitas penyimpanan energi lithium. Dibuat dari sodium-sulfur, sejenis garam cair yang dapat diproses dari air laut, baterai ini diklaim "berharga rendah dan lebih ramah lingkungan" daripada opsi yang ada sekarang.

Ini bisa jadi terobosan untuk energi terbarukan, menurut peneliti utama Dr Shenlong Zhao dari University of Sydney. "Baterai natrium kami berpotensi mengurangi biaya secara dramatis sambil menyediakan kapasitas penyimpanan empat kali lebih banyak," katanya.

Ia menyambung, "Ini adalah terobosan signifikan untuk pengembangan energi terbarukan yang, meski mengurangi biaya dalam jangka panjang, memiliki beberapa hambatan finansial untuk masuk (ke pasar)."

Saat iklim memanas, ada kebutuhan mendesak untuk beralih ke sumber energi terbarukan, seperti angin dan matahari. Tapi, energi terbarukan tidak selalu konsisten dengan sumber lain, yang berarti baterai diperlukan untuk menyimpan listrik  untuk digunakan nanti.

Banyak baterai dibuat dengan logam tanah jarang seperti litium, grafit, dan kobalt. Demi mencapai netralitas iklim, Uni Eropa akan membutuhkan lithium 18 kali lebih banyak daripada yang digunakan saat ini pada 2030 dan hampir 60 kali lebih banyak pada 2050.

 

Bukan Konsep Baru

Ilustrasi
Ilustrasi baterai. (dok. pexels/mohamed abdelghaffar)

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan pada September lalu bahwa "lithium dan tanah jarang akan segera jadi lebih penting daripada minyak dan gas." Tapi, logam ini harus dibayar mahal.

Ekstraksi litium dapat mengakibatkan kekurangan air, hilangnya keanekaragaman hayati, rusaknya fungsi ekosistem, dan degradasi tanah. Ketika logam diproduksi menggunakan kolam penguapan, misalnya, dibutuhkan sekitar 2,2 juta liter untuk menghasilkan satu metrik ton. Ini juga mahal secara finansial untuk menambang dalam skala besar.

Di sinilah baterai garam laut bisa memberikan alternatif. Baterai garam laut bukanlah konsep baru. Mereka telah ada selama 50 tahun, namun itu telah jadi "alternatif yang lebih rendah, dengan siklus hidup energi yang pendek. Tapi, baterai baru ini berbeda.

Para ilmuwan mengubah elektroda untuk meningkatkan reaktivitas belerang, elemen kunci yang menentukan kapasitas penyimpanan. Produk yang dihasilkan menunjukkan "kapasitas super tinggi dan masa pakai sangat lama pada suhu ruang," saran peneliti University of Sydney.

 

Produk Alternatif

Ombak - Vania
Ilustrasi garam laut/https://unsplash.com/Siim Lukka

Karena garam laut ada di mana-mana, ini dapat memberikan alternatif yang dapat diskalakan untuk baterai lithium ion. "Saat matahari tidak bersinar dan angin sepoi-sepoi tidak bertiup, kami membutuhkan solusi penyimpanan berkualitas tinggi yang tidak merugikan Bumi dan mudah diakses di tingkat lokal atau regional," kata Dr Zhao.

Ia menyambung, "Solusi penyimpanan yang diproduksi menggunakan banyak sumber daya seperti natrium, yang dapat diproses dari air laut, juga memiliki potensi untuk menjamin keamanan energi secara lebih luas dan memungkinkan lebih banyak negara bergabung dalam peralihan menuju dekarbonisasi."

Baterai konvensional merupakan salah satu barang paling berbahaya untuk ditinggalkan di tempat pembuangan akhir. Bagian luar baterai berupa logam tipis akan terurai dalam 100 tahun. Setelah terurai, logam berat di dalamnya baru terlihat, dan itu tidak akan pernah terurai.

Di sisi lain, melansir The Driven, anggota parlemen UE telah mengesahkan undang-undang baru tentang standar lingkungan dan uji tuntas untuk produsen baterai yang menjual produknya ke pasar Eropa. Ini termasuk persyaratan untuk memulihkan hampir semua nikel dan kobalt, serta setengah dari litium dalam baterai pada akhir masa pakainya.

Regulasi Baru

Ilustrasi mobil listrik (Istimewa)
Ilustrasi mobil listrik (Istimewa)

Federasi Eropa untuk Transportasi dan Lingkungan (T&E), badan puncak untuk LSM lingkungan Eropa, mengatakan undang-undang baru, Peraturan Baterai, akan jadi pengubah permainan untuk sumber, produksi, dan daur ulang baterai untuk EV.

Mulai Juli 2024, produsen baterai yang menjual produknya di Eropa harus melaporkan total jejak karbon produk, mulai dari penambangan hingga daur ulang. Data itu kemudian akan digunakan untuk menetapkan batas maksimum karbon dioksida agar baterai mulai berlaku paling cepat Juli 2027.

"Baterai sudah jauh lebih berkelanjutan daripada membakar oli di mobil kami, tapi bisa jauh lebih baik," kata Alex Keynes, manajer kendaraan bersih di T&E. "Aturan baru tentang jejak karbon, daur ulang, dan pemeriksaan uji tuntas berarti baterai yang dijual di Eropa adalah yang paling berkelanjutan secara global, menetapkan standar untuk seluruh dunia."

Aturan tidak terbatas pada penilaian jejak karbon baterai. Perusahaan yang menjual baterai di UE juga harus mengidentifikasi, mencegah, dan mengatasi masalah lingkungan, hak asasi manusia, atau tenaga kerja apa pun dalam rantai pasokan mereka.

Infografis Sampah Kemasan Produk Kecantikan
Infografis Sampah Kemasan Produk Kecantikan. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya