Liputan6.com, Jakarta - International Air Transport Association (IATA) mengkritisi keputusan sejumlah negara yang mewajibkan para pelancong dari China untuk menjalani tes Covid-19 dan langkah pencegahan lainnya. Mereka menyebutnya sebagai reaksi 'membabi-buta' yang tidak efektif.
"Sangat mengecewakan melihat penerapan kembali langkah membabi-buta yang terbukti tidak efektif selama tiga terakhir ini," kata Willie Walsh, Direktur Jenderal IATA dalam sebuah pernyataan, dikutip dari AFP, Kamis (5/1/2023).
Advertisement
Baca Juga
IATA yang mewakili 300 maskapai yang mencakup 83 persen dari total lalu-lintas udara berpendapat virus corona sudah menyebar luas di dalam negara-negara yang mewajibkan tes.
"Riset yang dilakukan sekitar kedatangan varian Omicron (pada akhir 2021) menyimpulkan bahwa menempatkan penghalang (tes Covid-19) di jalur perjalanan tidak membuat perbedaan pada puncak penyebaran infeksi," kata Walsh.
"Kami memiliki alat untuk mengelola COVID-19 tanpa menggunakan tindakan tidak efektif yang memutus konektivitas internasional, merusak ekonomi, dan menghancurkan pekerjaan," sambung dia.
Lalu lintas penumpang global yang diobrak-abrik karena kemunculan Covid-19 di awal 2020 diperkirakan sudah kembali pulih. Walsh memperkirakan tingkat pemulihannya pada 2022 telah mencapai 70,6 persen dari level sebelum pandemi, kurang dari perkiraan awal karena China tetap mempertahankan pembatasan perjalanan yang ketat hampir sepanjang tahun lalu.
China telah mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan kewajiban karantina bagi pelancong yang datang pada 8 Januari 2023. Namun, tingginya kasus positif Covid-19 di Tiongkok dengan data yang terbatas memunculkan kekhawatiran dari sejumlah negara atas kedatangan pelancong dari Tiongkok.
Ketatkan Pengawasan
Dikutip dari kanal Global Liputan6.com, mayoritas dari 27 negara anggota Uni Eropa sepakat menerapkan tes Covid-19 bagi pelancong dari China. Komisi Eropa pada Selasa, 3 Januari 2022, menyatakan tes akan dilakukan secara sistematis sebelum keberangkatan, berdasarkan hasil pertemuan pejabat kementerian kesehatan Uni Eropa.Â
Uni Eropa mengkhawatirkan masuknya penumpang secara tiba-tiba dari China dapat membawa varian COVID-19 yang mungkin dapat melawan vaksin saat ini. Ada juga kekhawatiran bahwa data China tentang penyebaran tidak lengkap, parsial, dan tidak mencukupi.
Sementara, Prancis, Spanyol, dan Italia telah lebih dulu memberlakukan persyaratan tes Covid-19 untuk para pendatang dari China. Mereka menyusul langkah yang diambil Amerika Serikat, Jepang, dan Australia yang mengumumkan rencana tersebut lebih dulu.
Amerika Serikat bersikeras bahwa persyaratan tes COVID-19 untuk pelancong dari China didasarkan pada sains dan karena kurangnya transparansi Beijing pada kasus yang melonjak. "Ini adalah pendekatan yang semata-mata dan secara eksklusif didasarkan pada sains," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price kepada wartawan ketika ditanya tentang pernyataan rekannya dari China.
Sementara, Indonesia mengambil langkah yang lebih terbuka. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno menegaskan bahwa tak ada langkah pengujian Covid-19 untuk pelancong dari Tiongkok, meski pemerintah berdalih pelaksanaannya tetap akan dilakukan dengan menerapkan 'prinsip kehati-hatian'.
Advertisement
Reaksi Beijing
Di sisi lain, China tidak terima karena pendatang dari negaranya diwajibkan ikut tes COVID-19 ketika masuk negara lain. Kebijakan itu turut diambil di Korea Selatan dan Jepang.Â
Aturan wajib tes COVID-19 bagi pendatang dari China diambil karena lonjakan kasus yang signifikan di China. Namun, pemerintah China melonggarkan aturan COVID-19 mereka.Â
Dilaporkan Global Times, Rabu, 4 Januari 2022, sejumlah pejabat di sektor pemerintahan dan kesehatan China menolak kebijakan tersebut, dan menilai aturan tes COVID-19 itu sebagai "sementara, tak perlu, dan kurang dasar ilmiah." Media pemerintah China itu juga menyebut kebijakan wajib tes ini sebagai "buang-buang waktu dan sumber daya" saja.Â
Kementerian Luar Negeri China Mao Ning juga ikut mengkritik kebijakan wajib tes COVID-19. "Sejumlah kebijakan-kebijakan tidak proporsional dan tak bisa disetujui. Kami secara tegas menolak tindakan-tindakan COVID untuk tujuan politik dan akan mengambil tindakan-tindakan untuk merespons bermacam situasi berdasarkan prinsip timbal balik," ujar Mao Ning.
Mao lantas meminta agar kebijakan COVID-19 tidak berdasarkan politik serta tidak berdampak ke masyarakat umum. "Hal tersebut (tes COVID-19) seharusnya tak digunakan untuk manipulasi politik, seharusnya tak ada kebijakan-kebijakan diskriminasi terhadap negara-negara tertentu," ujar jubir Kemlu China itu.
Situasi Covid-19 China
Sementara, Chen Erzhen, Wakil Presiden Rumah Sakit Ruijin dan anggota panel penasehat ahli COVID-19 Shanghai, memperkirakan bahwa mayoritas dari 25 juta penduduk kota itu mungkin telah terinfeksi virus corona tersebut.
"Sekarang penyebaran epidemi di Shanghai sangat luas dan mungkin telah mencapai 70 persen dari populasi, yang 20 sampai 30 kali lebih banyak dari (pada bulan April dan Mei)," katanya kepada Dajiangdong Studio, corong milik Partai Komunis, People's Daily, seperti dikutip dari Channel News Asia, Rabu (4/1/2022).Â
Peningkatan tajam infeksi COVID-19 terjadi setelah bertahun-tahun pembatasan garis keras tiba-tiba dilonggarkan bulan lalu dengan sedikit peringatan atau persiapan, serta dengan cepat membuat rumah sakit dan krematorium kewalahan. Shanghai mengalami lockdown dua bulan yang melelahkan sejak April 2022 dengan lebih dari 600.000 penduduk terinfeksi COVID-19 dan banyak yang diangkut ke pusat karantina massal.
Sekarang, varian Omicron menyebar merajalela di seluruh kota dan para ahli memperkirakan infeksi akan mencapai puncaknya pada awal 2023. Di kota-kota besar lainnya, termasuk Beijing, Tianjin, Chongqing, dan Guangzhou, pejabat kesehatan China menyatakan bahwa gelombang infeksi COVID-19 telah mencapai puncaknya.
Advertisement