Liputan6.com, Jakarta - Seorang peneliti dari PBB menegaskan bahwa perubahan iklim meningkatkan keparahan dan durasi gelombang panas, yang di beberapa tempat bisa terjadi sepanjang tahun. Dilansir dari The Korea Times pada Kamis (24/8/2023), berita utama belakangan ini kerap dikuasai oleh kejadian panas yang ekstrem, dari fenomena "kubah panas" yang mempengaruhi sebagian besar Eropa, hingga insiden kebakaran hutan yang disebabkan oleh suhu tinggi di Yunani, Spanyol, Kanada, dan Hawaii, serta kenaikan suhu di musim dingin di Amerika Selatan.
Menurut John Nairn, seorang ahli senior dalam hal panas ekstrem di Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB yang berbicara dengan AFP, gelombang panas kini datang lebih dini, bertahan lebih lama, dan dengan intensitas yang lebih tinggi.
Baca Juga
"Ini adalah hasil langsung dan tercepat dari pemanasan global yang kita amati dalam dinamika cuaca," ungkap Nairn, menambahkan bahwa fenomena ini sesuai dengan proyeksi ilmiah.
Advertisement
"Orang-orang tampaknya menganggap ringan gejala-gejala ini. Ilmuwan sudah memprediksi kejadian ini. Ini bukanlah akhir (dari gelombang panas), kejadian ini hanya akan bertambah parah dan lebih sering terjadi," tuturnya dengan kesal.
Salah satu faktornya, menurutnya, adalah dampak dari pemanasan global yang menyebabkan penurunan kekuatan aliran jet global, yaitu aliran udara yang berada di ketinggian atmosfer bumi.
Ketika pola aliran jet menjadi lebih pelan dan lebih tidak stabil, ini menyebabkan sistem cuaca untuk bertahan di satu wilayah dalam jangka waktu yang lebih panjang. "Ada kemungkinan dalam suatu musim panas, kita menghadapi gelombang panas yang berkepanjangan, dan suhu terus meningkat tanpa henti, sebab aliran tersebut stagnan," ujar Nairn.
Pola Gelombang Panas
Nairn mengungkapkan bahwa ketika kita memandang planet Bumi secara menyeluruh, tampak jelas bahwa gelombang panas muncul dengan pola yang sama di seluruh penjuru dunia. "Pola cuaca yang melambat dan stagnan mengakibatkan wilayah seperti Amerika Utara, sebagian Samudera Atlantik, Eropa, dan Asia menghadapi puncak gelombang panas secara simultan."
Gelombang panas termasuk di antara bencana alam yang paling mematikan, dengan angka kematian mencapai ratusan ribu tiap tahunnya akibat komplikasi panas yang sebenarnya bisa dihindari. Nairn menyarankan agar diskusi tentang panas dilakukan dengan lebih berwawasan.
Ia menekankan perlunya memberikan perhatian lebih pada kenaikan suhu minimum saat malam dibandingkan dengan puncak suhu di siang hari yang sering menjadi sorotan. Suhu malam yang tinggi dan berkelanjutan sangat merugikan kesehatan, sebab tubuh tidak sempat memulihkan diri dari paparan panas siang harinya.
Suhu malam yang lebih tinggi juga berimplikasi pada penumpukan energi dari siang hari yang tak bisa disalurkan, yang pada akhirnya mendorong suhu untuk menjadi lebih panas di hari berikutnya. "Kenyataan bahwa suhu terendah meningkat dengan laju yang lebih cepat dibandingkan dengan suhu tertinggi menyebabkan penumpukan energi selama periode dengan suhu yang lebih tinggi dan lebih lama," ujar Nairn.
"Konsekuensinya bersifat bertambah, sehingga gelombang panas menjadi lebih mematikan. Seiring perubahan iklim yang terus berlangsung, kondisi akan semakin memburuk," tambah Nairn.
Advertisement
Gelombang Panas yang Lebih Lama
Ia mengekspresikan kekhawatirannya, khususnya terhadap kondisi di wilayah tropis dan subtropis, merujuk pada fenomena rekor suhu tinggi di Amerika Selatan, di mana suhu mencapai 40 derajat Celsius meskipun sedang musim dingin. Ke depan, Nairn mengatakan bahwa kita akan menyaksikan gelombang panas yang lebih sering dan berlangsung lebih lama sepanjang tahun.
"Di kawasan tropis dan subtropis, sangat disayangkan bahwa ada tanda-tanda yang menunjukkan potensi gelombang panas yang lebih ekstrem dan parah dapat muncul kapan saja sebelum abad ini berakhir," ucap Nairn.
Meski di daerah lintang lain, kurangnya paparan sinar matahari berarti kemungkinan gelombang panas sepanjang tahun sangat rendah, namun Nairn menegaskan bahwa di wilayah tersebut kita akan melihat lebih sering periode dengan suhu yang lebih tinggi di luar musimnya, termasuk di musim dingin.
Menanggapi pertanyaan mengenai langkah apa yang dapat diambil untuk mengatasi kenaikan suhu yang ekstrem, Nairn menyarankan bahwa semua orang memiliki potensi untuk memperbaiki situasi ini.
"Kita harus beralih ke energi listrik, dan berhenti mengandalkan bahan bakar fosil. Tidak ada yang lebih sulit dari itu," ucapnya.
Kanal Banjir Timur Surut
Mengutip kanal News Liputan6.com per hari ini, musim kemarau yang melanda wilayah DKI Jakarta membuat debit air di Kanal Banjir Timur (KBT) surut. Keadaan ini dialami di sepanjang Jalan Inspeksi KBT Malaka Sari hingga Jalan Rawa Bebek, Pilogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.
Berdasarkan hasil analisis terhadap pengamatan curah hujan yang dilakukan selama bulan Agustus 2023 dari BMKG, kondisi KBT berhubungan dengan perubahan iklim yang saat ini terjadi. Hal ini diungkapkan oleh Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG, Supari yang mengatakan bahwa wilayah Jabotabek termasuk Provinsi DKI, Banten dan sebagian besar Jawa Barat mengalami curah hujan yang sangat rendah.
"Sangat rendah yaitu kurang dari 10 mm dalam 10 hari. Jadi curah hujan yang seperti itu membuat kondisi aliran sungai sangat kecil, bahkan kering karena tidak ada supply air ke dalam tanah kan," ujar Supari kepada Liputan6.com pada Rabu, 23 Agustus 2023.
Supari menyebut kondisi daerah yang mengalami curah hujan yang sangat rendah pada sepanjang bulan Agustus 2023 ini meliputi Sumatera Selatan, Lampung, seluruh Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Kalimantan Selatan, sebagian besar Sulawesi dan Papua bagian selatan.
"Jadi ya dari segi nasional merata dan itu yang berkontribusi pada mengeringnya sungai-sungai atau kalau tidak mengering mungkin alirannya sangat kecil," jelasnya.
Advertisement