Pendaki Gunung Fuji Jepang Kini Harus Bayar Rp210 Ribu per Sekali Naik, Kuotanya Juga Dibatasi

Gunung Fuji Jepang selama bertahun-tahun mengalami imbas negatif dari meningkatkan kunjungan wisata, termasuk pendaki yang tak tahu aturan.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 07 Mar 2024, 15:00 WIB
Diterbitkan 07 Mar 2024, 15:00 WIB
Gunung Fuji dari Prefektur Yamanashi
Gunung Fuji terlihat dari kuil Arakura Fuji Sengen di kota Fujiyoshida, prefektur Yamanashi, pada Kamis (22/4/2021). Prefektur Yamanashi terletak di sebelah barat Tokyo yang memiliki spot-spot wisata terkenal, salah satunya gunung tertinggi di Jepang, Gunung Fuji. (Behrouz MEHRI / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Ada aturan baru yang berlaku untuk pengunjung dan pendaki Gunung Fuji Jepang. Aturan tersebut dikeluarkan demi mengatasi efek negatif kunjungan wisata yang meningkat ke salah satu situs Warisan Dunia UNESCO tersebut.

Meningkatnya angka kunjungan wisata berdampak pada padatnya manusia di ikon Jepang tersebut, jalur pendakian yang dipenuhi sampah, dan pendaki-pendaki yang berbusana tidak sesuai, termasuk mereka yang berusaha mendaki hanya memakai sandal. Menghadapi sederet masalah itu, pemerintah Prefektur Yamanashi yang mengelola Gunung Fuji akan mulai mengutip biaya 2000 yen, sekitar Rp211 ribu per pendaki.

"Dengan sangat mendukung langkah-langkah keselamatan komprehensif saat mendaki Gunung Fuji, kami akan memastikan bahwa Gunung Fuji, harta karun dunia, diwariskan kepada generasi mendatang," kata Koutaro Nagasaki, Gubernur Prefektur Yamanashi, mengutip CNN, Kamis, 7 Maret 2024.

"Dalam rangka menghidupkan kembali pendakian gunung tradisional dari kaki Gunung Fuji, kita akan memperoleh pemahaman mendetail tentang budaya Fuji-ko dan Oshi yang mendukung pemujaan Gunung Fuji. Kami ingin menghubungkan budaya-budaya ini dengan pendakian gunung ini, karena hal ini berakar pada nilai-nilai budaya agama." Fuji-ko adalah agama yang spesifik memuja gunung.

Selain memberlakukan biaya pendakian, Toshiaki Kasai dari Divisi Warisan Dunia Fuji di Prefektur Yamanashi, mengatakan kepada CNN bahwa prefektur setempat juga akan membatasi kuota harian sebanyak 4.000 pendaki. Akan ada pemandu baru yang mengatur keselamatan di dalam dan sekitar jalan setapak. Mereka akan memberi tahu pendaki jika mereka melanggar etika di gunung, seperti tidur di pinggir jalan setapak, menyalakan api, atau mengenakan pakaian yang salah.

Gunung Fuji Hadapi Masalah Overtourism

Gunung Fuji dari Prefektur Yamanashi
Gunung Fuji terlihat dari pinggiran kota Fujiyoshida, prefektur Yamanashi, Jepang, pada Kamis (22/4/021). Pada tahun 2014, Gunung Fuji terpilih sebagai UNESCO World Culture Heritage Site (Situs Warisan Budaya Dunia). (Behrouz MEHRI / AFP)

Meskipun Kasai tidak menggunakan istilah “overtourism”, dalam beberapa tahun terakhir terlihat jelas bahwa terlalu banyak manusia menyebabkan masalah di gunung setinggi 3.776 meter (12.388 kaki) tersebut. Menurut data prefektur, lima juta orang mendaki Gunung Fuji pada 2019, meningkat tiga juta orang dibandingkan 2012.

"Wisata yang berlebihan, dan segala konsekuensinya seperti sampah, peningkatan emisi CO2, dan pejalan kaki yang ceroboh, adalah masalah terbesar yang dihadapi Gunung Fuji," Masatake Izumi, pejabat pemerintah prefektur Yamanashi, mengatakan kepada CNN Travel tahun lalu.

Pada 2023, seorang sukarelawan bernama Tomoyo Takahashi mengatakan kepada CNN bahwa dia akan meminta pengunjung untuk secara sukarela menyumbang 1.000 yen untuk memelihara gunung tersebut.

"Tidak semua orang membayar 1.000 yen, dan itu membuat saya sedih. Seharusnya ada biaya masuk wajib yang jauh lebih tinggi sehingga hanya pengunjung yang benar-benar mengapresiasi warisan Gunung Fuji yang datang," ujarnya saat itu. Kini, keinginan Takahashi terkabul bahkan dengan nominal lebih tinggi.

Fenomena Paparazi Geisha di Kyoto

Bunga Sakura Bermekaran di Jepang
Para pengunjung menikmati sakura mekar di Taman Ueno, Tokyo, Sabtu (25/3/2023). Memasuki musim semi di Jepang, warga hingga turis mancanegara berbondong-bondong menikmati keindahan dari bunga sakura yang mekar. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pariwisata berlebihan telah menjadi masalah yang lebih besar di Jepang sejak negara tersebut dibuka kembali setelah pandemi. Di Kyoto, penduduk setempat di kawasan bersejarah Gion menyatakan keprihatinan mereka terhadap wisatawan yang datang ke sana untuk memotret dan terkadang melecehkan geisha yang tinggal dan bekerja di sana, sehingga mendapat julukan 'geisha paparazzi'.

Meskipun pemerintah kota telah memasang tanda dan plakat yang meminta pengunjung untuk tidak memotret geisha, beberapa penduduk setempat mengatakan kepada CNN Travel bahwa itu tidak cukup. Namun, selebaran itu rupanya tetap diabaikan sebagian wisatawan.

Titik puncaknya pada 2019, yakni masuknya laporan tentang wisatawan yang berperilaku buruk menarik-narik kimono wanita, mengejar mereka dengan kamera dan smartphone, serta mencabut hiasan rambut mereka (kanzashi) dan bahkan melempari mereka dengan puntung rokok.

Pada tahun yang sama, Gion mulai memasang tanda dan pemberitahuan yang melarang aktivitas fotografi dan memperingatkan bahwa pelanggar akan dikenakan denda. Hingga saat ini, papan larangan tersebut masih ada. Pengumuman dalam tiga bahasa tersebut menjelaskan bahwa wisatawan tidak boleh mengambil foto geisha tanpa izin, dan pelanggar dapat dikenakan denda hingga 10ribu yen (sekitar Rp1 juta).

Namun, Sekretaris Perwakilan Dewan Distrik Sisi Selatan Kota Gion, Isokazu Ota, mengatakan kepada CNN bahwa denda tersebut tidak berjalan efektif. Tetap saja banyak wisatawan yang melanggar.

 

Pariwisata Massal di Kuil Terkenal

Kuil Itsukushima, Miyajima, Prefektur Hiroshima, Jepang
Kuil Itsukushima, Miyajima, Prefektur Hiroshima, Jepang. (Liputan6.com/ Mevi Linawati)

Masalah serupa juga dihadapi penjaga Kuil Itsukushima di Kota Hatsukaichi, Prefektur Hiroshima, Jepang, yang telah menjadi salah satu destinasi wisata paling populer di negara tersebut selama bertahun-tahun. Setelah mendapatkan banyak manfaat dari popularitas kuil tersebut dalam hal perekonomian dan ketenaran, kini mereka merasakan dampak negatif.

Melansir CNN pada Selasa, 3 Oktober 2023, Kota Hatsukaichi menghadapi masalah overtourism dan sebagai respons, pemerintah setempat memutuskan untuk mengenakan pajak bagi para wisatawan. Penerapan pajak ini seharusnya sudah dilakukan sejak 2021 namun terhambat akibat pandemi.

Setiap orang yang mengunjungi Miyajima, gerbang masuk ke kuil ini, sekarang harus membayar 100 yen (sekitar Rp10 ribu). Bagi mereka yang berencana berkunjung beberapa kali, tersedia tiket tahunan seharga 500 yen (Rp52 ribu).

Pendapatan dari pajak ini akan dialokasikan untuk pembangunan dan peningkatan fasilitas wisata, termasuk renovasi kamar mandi umum, pemeliharaan struktur kuil, serta inisiatif ekowisata di wilayah tersebut.

"Kami merasa penting untuk menjamin kesejahteraan penduduk lokal sambil menyediakan suasana yang menyenangkan bagi para wisatawan," ujar Shunji Mukai, pejabat dari departemen perencanaan kota di Jepang. "Kami ingin para wisatawan berperan aktif bersama kami dalam menjaga dan melindungi Miyajima, memikul tanggung jawab bersama."

Infografis Jepang dan Inggris Tergelincir ke Jurang Resesi. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Jepang dan Inggris Tergelincir ke Jurang Resesi. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya