Fenomena Gerhana Matahari Total Menurut Sisi Spiritual Agama Buddha hingga Islam

Gerhana matahari total yang akan terjadi hari ini, Senin (8/4/2024) mengingatkan kita bagaimana beberapa agama besar di dunia menanggapi gerhana tersebut selama berabad-abad dan di zaman modern.

oleh Dyah Ayu Pamela diperbarui 08 Apr 2024, 16:30 WIB
Diterbitkan 08 Apr 2024, 16:30 WIB
FOTO: Penampakan Gerhana Matahari Total di Argentina
Bulan bergerak melintasi matahari saat terjadi gerhana matahari total di Piedra del Aguila, Argentina, Senin (14/12/2020). Gerhana matahari total terlihat dari wilayah Patagonia utara Argentina dan dari Araucania di Chile. (AP Photo/Natacha Pisarenko)

Liputan6.com, Jakarta - Sepanjang sejarah, gerhana matahari memberikan dampak yang sangat besar bagi penganut berbagai agama di seluruh dunia. Peristiwa ini dipandang sebagai pesan dari Tuhan atau kekuatan spiritual, yang menimbulkan emosi mulai dari ketakutan hingga keheranan.

Gerhana matahari total yang terjadi hari ini, Senin, (8/4/2024) mengingatkan kita bagaimana beberapa agama besar di dunia menanggapi gerhana tersebut selama berabad-abad dan di zaman modern. Mengutip dari laman Japan Today, tradisi Buddha Tibet meyakini bahwa energi tindakan positif dan negatif berlipat ganda selama peristiwa astronomi besar seperti gerhana matahari.

Menurut mendiang Lama Zopa Rinpoche dari Yayasan Pelestarian Tradisi Mahayana, baik gerhana bulan maupun matahari adalah hari baik untuk latihan spiritual. Beliau mengatakan bahwa pahala yang mewakili akibat karma positif dari niat dan tindakan baik dihasilkan pada gerhana bulan akan berlipat ganda sebesar 700 ribu dan pada gerhana matahari sebesar 100 juta.

Beberapa aktivitas spiritual yang direkomendasikan pada hari-hari ini antara lain melantunkan mantra dan sutra. Sementara sebagian orang Kristen percaya bahwa gerhana menandakan datangnya "akhir zaman" yang mendahului kembalinya Kristus ke Bumi seperti yang dinubuatkan di berbagai bagian dalam Alkitab.

Salah satu bagiannya terdapat dalam Kisah Para Rasul pasal kedua menyebut, "Matahari akan berubah menjadi gelap gulita dan bulan menjadi darah sebelum datangnya hari Tuhan yang besar dan mulia itu." 

Ada juga kepercayaan yang kuat di kalangan umat Kristiani bahwa gerhana terjadi pada saat penyaliban karena tiga dari empat Injil dalam Alkitab menyebutkan periode kegelapan selama tiga jam saat Yesus mati. "Saat itu kira-kira tengah hari, dan kegelapan menyelimuti seluruh negeri sampai jam tiga sore, karena matahari berhenti bersinar," menurut Lukas 23:44.

 

Peristiwa Gerhana dalam Kepercayaan Hindu

Menyaksikan Gerhana Matahari Total di Langit Chile
Bulan menghalangi matahari selama gerhana matahari total di La Higuera, Chile, Selasa (2/7/2019). Gerhana matahari total secara singkat mengubah siang menjadi malam. (AP Photo/Esteban Felix)

Asal-usul gerhana dalam agama Hindu dijelaskan dalam legenda kuno yang disebut purana. Dalam salah satu legenda, para dewa dan asura, yang masing-masing melambangkan kebaikan dan kejahatan sedang mengaduk lautan untuk menerima nektar kehidupan abadi.

Saat salah satu asura, Svarbhanu, menyamar sebagai dewa untuk menerima nektar (makanan para dewa) dewa Matahari (Surya). Dewa Bulan (Chandra) memperingatkan Mohini, inkarnasi Dewa Wisnu, yang kemudian menggunakan cakram untuk memenggal kepala Svarbhanu.

Namun karena asura telah mengonsumsi sebagian dari nektar tersebut, kepala dan tubuhnya yang abadi namun terpisah tetap hidup dengan nama Rahu dan Ketu. Legenda mengatakan bahwa Rahu kadang-kadang menelan matahari dan bulan karena peran para dewa dalam kesengsaraannya, menyebabkan gerhana matahari dan bulan.

Di sisi lain, umat ​​​​Hindu umumnya menganggap gerhana matahari atau bulan sebagai pertanda buruk. Ada yang berpuasa sebelumnya dan banyak pula yang tidak makan selama periode gerhana.

Umat ​​​​Hindu yang taat melakukan ritual mandi untuk membersihkan diri selama fase pertama dan terakhir gerhana.  Sebagian besar kuil ditutup selama gerhana berlangsung. Para penyembah berkumpul untuk berdoa di sepanjang tempat ziarah dekat sungai suci selama terjadinya gerhana. Acara ini dianggap sebagai saat tepat untuk berdoa, meditasi, dan melantunkan mantra yang semuanya diyakini dapat mengusir kejahatan.

Gerhana dalam Kepercayaan Islam

Ilustrasi gerhana matahari
Ilustrasi gerhana matahari. (Photo by Drew Rae on Pexels)

Dalam Islam, gerhana matahari adalah waktu untuk kembali kepada Tuhan dan berdoa. Salat gerhana pun dilaksanakan, berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW.

Kaiser Aslam, seorang pemuka Muslim di Pusat Kehidupan Islam di Universitas Rutgers, mengatakan salah satu riwayat mengutip nabi yang bersabda, "Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah dan keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang. ... Kapan pun Anda melihat gerhana ini, berdoalah kepada (Allah).”

Dalam sebuah cerita, Ibrahim yang merupakan putra Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Menurut Aslam, para sahabat berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa gerhana matahari terjadi karena besarnya kerugian tersebut.

"Nabi mengoreksi mereka dengan mengingatkan bahwa matahari dan bulan adalah tanda-tanda kekuasaan Allah dan tidak menambahkan takhayul apapun tentang mengapa gerhana terjadi," jelas Aslam.

Mahmoud Alhawary, seorang pejabat Akademi Penelitian Islam Al-Azhar di Kairo, mengatakan lebih baik salat gerhana dilakukan berjamaah di masjid. Namun umat Islam juga boleh salat sendiri-sendiri di tempat lain.

Hikmahnya adalah "Setiap individu harus mencari perlindungan kepada Allah, meminta penghapusan penderitaan ini," kata Alhawary. "Orang-orang harus tahu bahwa kejadian di seluruh alam semesta ada di tangan Allah."

Gerhana dalam Kepercayaan Yahudi

Ilustrasi Gerhana Matahari Total
foto: pixabay

Talmud, kumpulan tulisan yang dikumpulkan lebih dari 1.500 tahun yang lalu yang merupakan hukum agama Yahudi, menawarkan berkah khusus untuk banyak fenomena alam, namun tidak untuk gerhana. Sebaliknya, kitab itu menggambarkan gerhana sebagai "pertanda buruk bagi dunia."

Mengutip Chabad.org, sebuah situs web yang melayani pembaca Yahudi Ortodoks, Rabi Menachem Posner yang berbasis di Chicago berusaha melihat bagian Talmud dalam konteks modern. Hal ini mengingat konsensus bahwa gerhana adalah peristiwa alam yang dapat diprediksi berabad-abad sebelumnya.

"Gerhana seharusnya menjadi kesempatan untuk meningkatkan doa dan introspeksi – bukannya mendorong berkah yang menggembirakan," tulis Posner. "Ini adalah tanda bahwa kami benar-benar bisa dan harus melakukan yang lebih baik."

Menulis pada awal Maret untuk organisasi pendidikan Yahudi Ortodoks Aish, Rabbi Mordechai Becher mencatat bahwa Yudaisme memiliki keterkaitan yang sudah lama ada dengan astronomi. Dia mengatakan ada tiga kawah di bulan yang dinamai menurut nama para rabi abad pertengahan yang ahli di bidang astronomi.

Mengenai gerhana, Becher yang seorang pengajar di Universitas Yeshiva, berpendapat bahwa hal itu dimungkinkan oleh Tuhan karena alasan yang mendalam. "Dia menciptakan sebuah sistem yang akan mengingatkan kita secara teratur bahwa pilihan kita dapat menciptakan kegelapan, bahkan pada saat seharusnya ada terang," tulisnya.

Infografis Gerhana Matahari Total, Tidak Buta karena Gerhana
Infografis Gerhana Matahari Total, Tidak Buta karena Gerhana (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya