Menengok Kembali Tragedi Pengeroyokan Bos Rental Mobil di Pati Lewat Kacamata Kriminologi

Dalam ilmu krimonologi, kejahatan juga bisa diajarkan dan diwariskan. Hal ini yang membuat hadirnya kelompok masyarakat yang menormalisasi kejahatan sebagai bagian dari norma dalam kelompok mereka.

oleh Rusmia Nely diperbarui 17 Jun 2024, 13:00 WIB
Diterbitkan 17 Jun 2024, 13:00 WIB
Aksi Main Hakim Sendiri
Sejumlah warga mengamuk main hakim sendiri mengira ada maling mobil terjadi di kampungnya di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. (Liputan6.com/ Ahmad Adirin)

Liputan6.com, Jakarta - Belum lama ini viral di media sosial dan ramai pemberitaan soal pengeroyokan bos rental mobil yang terjadi di Desa Sumbersoko, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Bos rental mobil itu diberitakan meninggal dunia dan tiga orang rekannya mengalami luka-luka hingga harus dirawat di rumah sakit. Kejadian yang terekam pada sebuah video amatir tersebut viral dan menjadi buah bibir banyak warganet.

Sejumlah orang menuding bahwa kawasan tersebut adalah 'sarang' pencuri dan penadah mobil curian dan warga yang memprovokasi dianggap bagian dari komplotan tersebut. Namun, bagaimana bisa satu wilayah menormalisasi kriminalitas semacam itu?

Seorang alumnus jurusan Kriminologi Universitas Indonesia membahasnya dari perspektif ilmu kriminologi. Ia mengatakan bahwa sama seperti kebaikan yang bisa diajarkan, kejahatan pun bisa disebarkan lewat cara yang sama, bahkan menjadi budaya yang diwariskan.

"Di kriminologi, kami mempelajari kejahatan itu bukan cuma sebab ada niat pelakunya… bukan hanya karena ada kesempatan. Tapi juga kejahatan bisa menjadi subkebudayaan yg diwariskan. Hal inilah yg dijelaskan melalui Cultural Transmission Theory atau teori transmisi kultural," tulis M. Ridha Intifadha di akun Twitter atau X-miliknya @RidhaIntifadha pada 11 Juni 2024.

Ia menjelaskan bahwa kejadian di Pati tersebut bisa dianggap sesuatu yang biasa karena telah menjadi ide kolektif bagi masyarakatnya, sama seperti norma-norma yang dianut masyarakat, bedanya mereka menurunkan perilaku yang berseberangan dengan kebiasaan baik. 

"Di sisi lain, norma di masyarakat itu bisa berbeda satu sama lain. Suatu norma yang dianggap normal/wajar di komunitas/masyarakat tertentu, bisa menjadi penyimpangan di masyarakat lain. Begitu pun sebaliknya," tulis Ridha.

 

Perilaku Buruk Bisa Diwariskan dan Dianggap Normal

Sejumlah warga mengamuk main hakim sendiri mengira ada maling mobil terjadi di kampungnya di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Sejumlah warga mengamuk main hakim sendiri mengira ada maling mobil terjadi di kampungnya di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. (Sumber Foto X atau Twitter @creepy_room_)

Ridha memakai teori dari Sutherland bernama asosiasi diferensial. Singkatnya, teori ini menjelaskan bahwa "bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan seseorang dalam kelompok masyarakat tertentu, ia akan semakin mendalamin dan menginternalisasi budaya kelompok tersebut," tulisnya.

Artinya, jika kamu ikut dalam kelompok tertentu atau terlahir di suatu kelompok masyarakat, semakin lama kamu akan makin terbiasa dengan norma-norma yang mereka anut. Norma tersebut tidak peduli baik atau buruk.

"Catatan penting adalah setiap kelompok masyarakat itu punya subkultur kejahatannya masing-masing. Nah, Sutherland mencatat proses belajar kejahatan secara sosiologis sangat terkait dengan hubungan sosial, frekuensi, intensitas, dan makna asosiasi," sebut Ridha.

Curhatan warganet soal banyaknya pencuri mobil dari satu kecamatan di Pati dan warga sekitar yang sudah berkomplot untuk menyembunyikannya memperlihatkan kalau mereka sudah menganggap kejahatan tersebut hal yang biasa. Dari luar, ini adalah suatu tindakan yang dianggap tidak normal, namun karena frekuensi dan intensitas mereka berkumpul dengan kelompok kriminal tersebut, membuat mereka mengadopsi kejahatan tersebut sebagai bagian dari kebiasaan, baik yang ikut tergabung maupun yang hanya bertindak sebagai penonton.

 

Proses Seseorang Belajar Kejahatan

Satreskrim Polresta Pati berhasil mengungkap kasus perkelahian antar gangster yang memakan korban jiwa di Jalan Raya Sukolilo - Prawoto, Pati, Jawa Tengah. Satu orang tewas mengenaskan akibat perkelahian. (Merdeka.com/Bachtiarudin Alam)
Satreskrim Polresta Pati berhasil mengungkap kasus perkelahian antar gangster yang memakan korban jiwa di Jalan Raya Sukolilo - Prawoto, Pati, Jawa Tengah. Satu orang tewas mengenaskan akibat perkelahian. (Merdeka.com/Bachtiarudin Alam)

Dalam utas tersebut juga dituliskan bagaimana proses seseorang untuk belajar kejahatan. Sutherland yang mencetuskan teori tersebut merumuskannya dalam sembilan tahapan.

"Pada tahap pertama: Tingkah Laku Jahat itu dipelajari. Mereka yang tidak pernah "dilatih" untuk jahat, tidak akan menghasilkan tingkah laku kejahatan. Pada tahap kedua: kejahatan dipelajari ketika berinteraksi dengan orang-orang lain dalam proses komunikasi," tulis Ridha.

Selanjutnya, pada tahapan ketiga, seseorang akan belajar tingkah laku jahat ketika ia mulai berinteraksi dalam ranah pribadi dalam kelompok tersebut. Selanjutnya, ia akan mulai mempelajari tingkah laku jahat tersebut lewat proses, meliputi, motivasi  yang khas, dorongan, rasionalisasi, dan memberikan sikap terhadap norma kelompoknya.

"Pada tahap kelima: motivasi yang khas dan dorongan tadi dipelajari ketika individu dihadapkan pada kondisi bahwa adanya aturan tingkah laku tunduk hukum harus ditaati dan aturan tingkah laku yang lebih condong pada pelanggaran hukum. Pada tahap keenam: seseorang menjadi jahat karena pengaruh 'aturan tingkah laku yg condong melanggar hukum' lebih kuat daripada 'pengaruh aturan tingkah laku yang tunduk hukum'," sebut Ridha, yang artinya pada tahap ini seseorang sudah mulai merasionalisasi perilaku-perilaku melanggar hukum.

Pada tahap ketujuh, kedekatan seseorang dengan kelompok yang tidak taat peraturan akan mempengaruhi caranya berpikir soal peraturan. Selanjutnya, ia mulai belajar dari kelompoknya soal cara dan kejahatan. Terakhir, perilaku jahat tadi sudah tidak memiliki batas antar perilaku jahat dan tidak jahat.

Kejahatan yang Diajarkan Bisa Direhabilitasi

Ilustrasi penjara (AFP)
Ilustrasi penjara (AFP)

Namun, sesuai dengan teori kriminologi, pelaku kejahatan bisa direhabilitasi dengan menghapus 'pelajaran kejahatan' yang pernah didapatnya.

"Penjahat itu bisa dipulihkan dengan proses yang sama dalam mempelajari kebaikan," tulis Ridha.

Kenyatannya, proses belajar menjadi "jahat" tersebut akan terus terjaga sebagai upaya mempertahankan subkebudayaan kriminal. Hal ini akan terus berlanjut dan berjalan kalau tanpa intervensi dari orang di luar kelompoknya.

"Coba bayangkan ada intervensi di tengah proses pembelajaran tadi. Misal: hukum yg tegas saat ada orang yang melanggar, lalu menjadi contoh bagi kelompok masyarakat lainnya Masyarakat hrs memperoleh rasionalisasi kenapa harus taat hukum, memperoleh sesuatu secara baik/halal, dsb," tambah Ridha.

Ridha mengingatkan bahwa, dalam teori Sutherland, kejahatan ini tidak terbatas sebagai penyakit sosial yang berkaitan dengan faktor ekonomi, keluarga, dan pendidikan. Perilaku kejahatan ini juga bisa dilakukan oleh seseorang dan organisasi atau kelompok terdidik yang dianggap punya daya pikir rasional. Itu mengapa tercetus konsep White Collar Criminal atau penjahat berkerah putih.

Infografis Klitih di Yogyakarta dan Maraknya Kejahatan Jalanan Remaja. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Klitih di Yogyakarta dan Maraknya Kejahatan Jalanan Remaja. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya