Liputan6.com, Jakarta - "Annyeong haseyo, mannaseo bangapseumnida," Chef Kim Doeun menyapa hangat awak media di acara DOEUN Media Luncheon, Rabu, 3 Juli 2024. Silaunya terik matahari di kawasan Menteng, Jakarta Pusat siang itu teredam tidak hanya karena ruangan ber-AC, namun juga nuansa cenderung redup remang di bagian dalam restoran Korea tersebut.
Unsur kayu dan desain minimalis khas tempat makan premium jelas kentara bahkan sebelum pelanggan melewati pintu restoran yang digadang sebagai hidden gem kuliner Korea di jantung kota Jakarta. Chef Doeun, yang memulai bisnis lewat usaha rumahan makanan Korea di Tangerang Selatan pada 2017, mengatakan bahwa konsumen akan mendapati ragam kuliner khas Negeri Ginseng yang cukup familiar di sini.
"Makanannya boleh sama, tapi cara masaknya berbeda," kata dia dalam Bahasa Indonesia yang cukup lancar. "Saya tidak menggunakan garam, gula, atau bahan tambahan ke dalam masakan untuk menciptakan rasa. Setiap hidangan di DOEUN dibuat melalui proses fermentasi yang panjang dan teliti."
"Saya percaya teknik kuno yang saya pelajari di Korea bisa menawarkan rasa lebih alami, namun tetap kaya," sebut dia, seraya menambahan bahwa kebanyakan resepnya merupakan warisan keluarga dari pihak ibunya. "Tidak ada toleransi sama sekali, jadi semua prosesnya dilewati, tidak ada yang instan."
Kecermatan, menurut dia, membuat resep rumahan yang autentik cocok jadi sajian restoran. Hidangan siang itu dibuka dengan beef ham and white peach. Rasa daging cenderung ringan berpadu segar buah persik membuatnya sangat cocok jadi makanan pembuka.
Ragam Potongan Daging Sebagai Menu Utama
Tidak hanya itu saja, karena potato jeon, octopus and gim puree, dan yuzaroll juga masuk dalam daftar menu makanan pembuka. Seluruhnya bercita rasa cukup ringan dan menghadirkan ragam tekstur yang seolah menggoda lidah untuk bersiap makan lebih banyak sajian.
Berlanjut ke menu utama yang didominasi ragam sajian daging, mulai dari butter dry age beef, woodae galbi original maupun marinated, dan diamond cut galbi. Favorit saya woodae galbi marinated, karena selain daging yang juicy, bumbu yang sedikit gurih dan manis menyebar dengan menyenangkan di tiap gigitan.
Jangan lupa menyantapnya dengan menambahkan ssamjang yang saking enak sampai membuat saya bertanya apakah bumbu itu dijual secara terpisah. Cara makan lainnya tentu dengan membuat ssam, entah dengan daun selada maupun perilla.
Saya pribadi awalnya agak skeptis dengan daun perilla, karena khawatir akan menciptakan aroma yang menutup semua rasa makanan, namun ternyata tidak demikian. Tekstur uniknya justru memberi pengalaman makan yang kian menyenangkan.Â
Di samping, Anda bisa mengombinasikannya dengan banchan. Saat itu, kami disajikan tujuh macam banchan, termasuk kimchi, salad saus beri nan segar, kimchi bayam, dan manisan tomat yang bercita rasa unik.
Advertisement
Kimchi Bibimguksu sampai Sajian Fusion
Di daftar menu utama juga ada kimchi bibimguksu. Saya yang notabene bukan penggemar mi dingin langsung dikejutkan karena bibimguksu di sini benar-benar terasa segar. Saus di sajian ini sering kali mendominasi rasa sampai membuat enek, tapi tidak kali ini.
Kombinasi mi dingin yang masih kenyal, saus agak manis, potonga timun menyegarkan, potongan telur rebus, dan kimchi sebagai penambah tekstur membuat kimchi bibimguksu jadi makanan favorit Korea baru saya. Memakannya dengan potongan daging, terutama woodae galbi original, juga menciptakan rasa dan tekstur menarik.
Kami juga mencicip bulgogi sate yang merupakan perpaduan kuliner klasik Korea yang disajikan layaknya sate ala Indonesia. Rasanya manis dan familiar. Kemudian, ada pula teokgalbi deopbab, sundubu jiggae, dan dolsot bibimbap.
Sup tahu sutra itu terasa melegakan tenggorokan setelah makan cukup banyak sajian bakaran. Tekstur tahu yang meleleh tanpa perlawanan ditambah sup yang sebenarnya gurih, alih-alih pedas, muncul sebagai pembeda yang menyenangkan.
Penutup Makan yang Sempurna
Sementara itu, bimbimbapnya terasa familiar. Karena sudah makan sajian-sajian sebelumnya, saya bereskpektasi rasa "alami" gochujang di sajian ini, dan benar saja. Tidak ada rasa asin atau gurih yang terlalu menyolok, semua terasa pas dan nyaman, padahal sudah makan cukup banyak sajian sebelumnya.
Kami juga disajikan japchae dengan isian melimpah. Potongan telurnya lebih tipis dari yang biasa saya makan, maka itu, tekstur isian lain, plus minya terasa dengan lebih seimbang. Cita rasanya tidak kuat, namun ragam teksturnya berhasil memikat hati saya.
Sebelum makanan penutup, kami disajikan haemul pajeon. Berbeda dari potato jeon yang sangat renyah di awal, gorengan ini lebih familiar bagi saya. Rasanya gurih dengan isian ragam seafood yang memberi tekstur berbeda di setiap gigitan.
Hingga akhirnya, menu hari itu ditutup dengan muscat grape bingsoo. Chef Doeun menjelaskan bahwa dessert ini dilengkapi sirup yang ia buat sendiri. "Dari fermentasi nanas dan apel," kata dia menyebutkan bahannya. Mungkin karena itu rasa manisnya nyaman di lidah.
Tekstur bingsoo yang mirip kelapa parut berpadu potongan muscat grape yang syukurnya tidak terlalu manis menutup rangkaian sajian dengan sempurna. Menyantap makanan di DOEUN telah membuat saya mendefinisikan ulang cita rasa kuliner Korea yang selama ini telah terpatri.
Selain yang sudah disebutkan di atas, DOEUN masih punya menu-menu lain, termasuk ragam sajian daging babi. Menu di sini dibanderol mulai dari Rp40 ribuan untuk minuman dan makanan mulai dari Rp100 ribuan.Â
Advertisement