Liputan6.com, Jakarta - Malam Satu Suro merupakan tradisi yang sakral bagi masyarakat Jawa. Terutama, memiliki makna khusus di Yogyakarta dan Surakarta, dirayakan pada malam pertama bulan Muharram, sebagai awal Tahun Baru Islam.
Biasanya orang-orang akan berdesak-desakan di sekitar Keraton Surakarta sampai memenuhi jalanan kota. Kirab akan segera digelar dan kebo bule yang dinanti-nantikan masyarakat juga akan diboyong keluar.
Mengutip dari laman Indonesia Kaya, Sabtu (6/7/2024), kebo bule ini termasuk menarik di masa itu adalah malam Satu Suro, malam istimewa yang acap kali dianggap mistis dan keramat sekaligus penuh berkah dan sakral. Sebagian besar masyarakat Jawa masih meyakini bahwa malam Satu Suro merupakan malam istimewa.
Advertisement
Kebo bule menjadi salah satu daya tarik bagi warga yang menyaksikan perayaan malam Satu Suro. Hewan itu bukan sembarang kerbau, karena leluhurnya merupakan hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II.
Leluhur kerbau bule itu merupakan hadiah dari Kyai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo. Secara turun-temurun kebo bule menjadi cucuk lampah (pengawal) pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet sehingga masyarakat menyebutnya kebo bule Kyai Slamet.
Dalam kirab Satu Suro, orang-orang berdesak-desakan dan berebut kotoran kebo bule. Kotoran kebo bule dianggap dapat membawa berkah dan keselamatan. Berbeda dengan Solo, di Yogyakarta, perayaan malam Satu Suro biasanya identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari pawai kirab.
1 Suro Diperingati Setelah Magrib
Satu Suro diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelumnya. Hal ini lantaran pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.
Selain kehadiran kebo bule, beragam tradisi sering kali digelar untuk menyambut bulan Suro, seperti jamas pusaka, ruwatan, hingga tapa brata. Dalam tradisi keraton, para abdi dalem keraton mengarak hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng dan kirab benda pusaka.
Tradisi malam Satu Suro berawal pada masa pemerintahan Sultan Agung. Pada masa itu, masyarakat umumnya mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang merupakan warisan tradisi Hindu. Sementara Kesultanan Mataram Islam telah menerapkan sistem kalender Hijriah. Bertujuan untuk memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa, Sultan Agung memprakarsai penyatuan kalender Saka dan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa.
Penyatuan kalender ini dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi. Satu Suro meripakan hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro, bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah.
Advertisement
Makna Malam 1 Suro
Dalam Misteri Bulan Suro, Perspektif Islam Jawa, yang ditulis Muhammad Solikhin, kata "suro" berasal dari kata "asyura", yang dalam bahasa Arab berarti “sepuluh”. Kata Asyura di sini merujuk pada tanggal 10 bulan Muharam, yang berkaitan peristiwa wafatnya Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhamad di Karbala (sekarang masuk Irak).
"Dari Sultan Agung inilah, pola peringatan tahun Hijriah kemudian dilaksanakan secara resmi oleh negara, dan diikuti seluruh masyarakat Jawa. Berbagai ritual perayaan Muharram dan Asyura di Indonesia terus lestari sampai sekarang berkat jasa Sultan Agung,” tulis Muhammad Solikhin.
Di Keraton Surakarta, menurut Dian Uswatina dalam tesisnya yang berjudul Akulturasi Budaya Jawa dan Islam: Kajian Budaya Kirab Pusaka Malam Satu Suro di Keraton Surakarta Hadiningrat Masa Pemerintahan Paku Buwono XII, peringatan Satu Suro dilakukan dengan cara bersyukur, tafakur (merenungkan), dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, yang dipusatkan di Masjid Pujasana.
Di masa pemerintahan Paku Buwono XII, upacara kirab pusaka malam Satu Suro dilaksanakan seminggu sekali pada hari Jumat. Upacara ini juga cuma mengelilingi bagian dalam keraton.
Ritual Doa Saat Malam 1 Suro
Sekitar tahun 1973, Presiden Soeharto pernah meminta kepada Sinuhun untuk turut berdoa demi ketentraman negara. Maka, "Sinuhun Paku Buwono XII mulai melaksanakan kirab pusaka di luar tembok keraton dan mengikutsertakan kebo bule yang dianggap sebagai bentuk pusaka keraton yang bernyawa," ungkap Dian Uswatina.
Kebo bule menjadi salah satu daya tarik bagi warga yang menyaksikan perayaan malam Satu Suro. Ia bukan sembarang kerbau, karena leluhurnya merupakan hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II. Leluhur kerbau bule itu merupakan hadiah dari Kyai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo. Secara turun-temurun kebo bule menjadi cucuk lampah (pengawal) pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet sehingga masyarakat menyebutnya kebo bule Kyai Slamet.
Dalam kirab Satu Suro, orang-orang berdesak-desakan dan berebut kotoran kebo bule. Kotoran kebo bule dianggap dapat membawa berkah dan keselamatan.
Tradisi malam Satu Suro menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Karenanya, pada malam Satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya.
Advertisement