KPK Telusuri Kasus Alkes Banten Lewat Politisi Demokrat

Anggota DPRD Banten Fraksi Partai Demokrat, Media Warman diperiksa KPK sebagai saksi untuk Ratu Atut terkait kasus dugaan korupsi alkes.

oleh Oscar Ferri diperbarui 11 Mar 2014, 11:24 WIB
Diterbitkan 11 Mar 2014, 11:24 WIB
120315gedung_kpk-logo.jpg

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat kesehatan di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dari berbagai 'pintu'. Salah satunya dengan memanggil anggota DPRD Banten Fraksi Partai Demokrat, Media Warman.

"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka RAC (Ratu Atut Chosiyah)," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha saat dikonfirmasi, Selasa (11/3/2014).

Di DPRD Banten, Warman juga menjabat sebagai Ketua Pelaksana Harian Badan Anggaran (Banggar). KPK sudah menyita mobil Honda CR-V dari Media Warman. Mobil  itu merupakan pemberian adik Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Media Warman akan 'dikorek' penyidik KPK terkait proeses anggaran proyek pengadaan alkes.

Selain Warman, penyidik KPK juga memeriksa sejumlah saksi untuk Atut. Mereka yakni Ahmad Rasudin selaku Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dinas Pendapatan pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Pemprov Banten, Suherman selaku PNS Dinkes Pemprov Banten, Ardius Prihantono selaku PNS Biro Ekonomi Pemprov Banten, Agus Setiyadi, dan pihak swasta bernama Herwindo.

"Mereka juga diperiksa sebagai saksi untuk RAC," kata Priharsa.

Atut bersama adik kandungnya Wawan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat kesehatan (alkes) di Provinsi Banten. Penyidik menemukan 2 alat bukti permulaan yang cukup untuk dimulainya penyidikan. Penetapan Atut dan Wawan sebagai tersangka sudah dilakukan sejak 6 Januari 2014.

Atut disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 Ayat 2 atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Adapun Pasal 12 huruf e terkandung unsur pemaksaan atau pemerasan. Ancaman hukumannya, pidana penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara dan minimal 4 tahun penjara, serta denda paling banyak Rp 1 miliar dan paling sedikit Rp 200 juta.

"RAC disangkakan pasal penerimaan. Memang ada yang bunyinya memaksa dalam konteks penerimaan atau fee (komisi)," ujar Juru Bicara KPK, Johan Budi SP beberapa waktu lalu.

"Itu rangkaian pasal penerimaan. Bahasanya sebenarnya memaksa. Dalam pasalnya yaitu penyelenggara negara memaksa. Yang dipaksa bisa dari kalangan Pemerintah Provinsi Banten atau bisa juga dari pihak swasta," ucap Johan.

Sedangkan Wawan dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHPidana.

Saat ini Wawan sudah mendekam di Rumah Tahanan KPK. Sementara Atut dititipkan di Rutan Pondok Bambu Cabang KPK, Jakarta Timur. Sebelumnya KPK juga menahan Atut dan Wawan terkait kasus dugaan suap sengketa Pilkada Lebak, Banten 2013. (Ismoko Widjaya)

Baca juga:

Korupsi Alkes Banten, KPK Periksa 8 PNS Pemprov Banten

Suap Pilkada Lebak, Ade Komaruddin Golkar: Tanya ke KPK

Terkait Wawan, KPK Sita Fortuner Milik Petinggi Nasdem Serang

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya