Liputan6.com, Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan berat hati untuk menandatangani pengesahan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada. Namun menurut peneliti senior Indonesian Public Institut, Karyono Wibowo, pernyataan itu hanyalah drama baru SBY.
"Itu lagi-lagi drama politik jelek ketiga. Drama jelek pertama perubahan sikap Demokrat yang awal mendukung, drama kedua Partai Demokrat walk out (wo) yang untungkan Koalisi Merah Putih. Kemudian drama lagi seolah-olah dia nggak setuju sikap Partai Demokrat karena dia berat tanda tangan," ujar Karyono di Jakarta, Minggu (28/9/2014).
Menurut Karyono, ada niat tertentu yang diinginkan oleh SBY terkait pemerintahan baru mendatang. Ia melihat SBY menginginkan kubu Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), memberikan tawaran pada Partai Demokrat (PD).
"Saya kira mungkin itu bagian dari strategi PD dan SBY untuk bargaining kubu Jokowi-JK. Saya nggak tahu bargaining-nya apa," imbuh Karyono.
"Bisa juga posisi jabatan tertentu yang diperjuangkan. Bisa juga masalah kasus-kasus disangkakan pada dirinya. Bisa juga soal kebijakan diambil supaya bisa dilanjutkan Jokowi-JK," tegas dia.
Bila benar SBY tidak tanda tangan, lanjut mantan peneliti politik Lingkaran Survei Indonesia (LSI) ini, tidak akan meredam kemarahan rakyat terkait pengesahan UU Pilkada di DPR. "Rakyat sudah makin tahu siapa PD dan SBY yang sikap politiknya bermain 2 kaki, tidak jelas jenis kelamin dan tidak konsisten. Itu tidak cukup efektif redam kemarahan rakyat," tandas Karyono.
Sebelumnya, usai RUU Pilkada dengan opsi pemilihan oleh DPRD disahkan, Presiden SBY mengaku kecewa. SBY juga menyatakan berat menandatangani UU Pilkada.
"Bagi saya, berat untuk menandatangani UU Pilkada oleh DPRD, manakala masih memiliki pertentangan secara fundamental, konflik dengan UU yang lain. Misalnya UU tentang Pemda," kata SBY dalam keterangan pers di The Willard Hotel Washington DC, Amerika Serikat.
Sebagai Presiden, SBY menilai UU Pilkada sangat bertentangan dengan UU Pemda. Khususnya pada klausul atau pasal-pasal yang mengatur tentang tugas, fungsi, dan kewenangan DPRD.
Selain itu, lanjut SBY, UU Pilkada juga tidak sesuai dengan UU yang mengatur tentang DPRD, yang tidak memberikan kewenangan kepada DPRD untuk memilih kepala daerah. Karena itu, SBY menilai UU Pilkada akan sulit dieksekusi.
SBY berharap pencapaian demokrasi di Indonesia selama satu dekade ini tidak mengalami kemunduran, hanya karena pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau melalui DPRD. "Saya pribadi tidak ingin ada kemunduran. Pada era kepresidenan saya, sebetulnya selain presiden dan wapres dipilih langsung, juga bupati, wali kota, dan gubernur. Itu pilihan saya, saya tidak pernah berubah," tegas SBY. (Mut)