Kampung Pulo, Sang Primadona yang Kini Telah Hanyut

Era 80-an, Kampung Pulo disebut primadona bagi para warga Jatinegara maupun luar Jatinegara menikmati keindahan dan kejernihan Kali Ciliwung

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 22 Des 2014, 07:18 WIB
Diterbitkan 22 Des 2014, 07:18 WIB
Banjir Kampung Pulo
Banjir Kampung Pulo (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Sempat dijuluki Venesia dari Timur, Jakarta tempo dulu atau sering disebut Batavia, pada era pemerintah Jan Peterzoon (JP) Coen di paruh pertama abad ke-17 benar-benar ingin melupakan reruntuhan Jayakarta yang porak poranda akibat perang.

Dalam buku 'gagalnya sistem kanal pengendalian banjir Jakarta dari masa ke masa', Restu Gunawan menulis JP Coen memimpikan Batavia jadi pusat dan ibu kota baru dari sebuah jaringan perdagangan raksasa dari Tanjung Harapan sampai Jepang. Demi mewujudkan hal tersebut, JP Coen menggandeng Simon Stevin, insiyur militer yang ahli membuat saluran air dan mengendalikan banjir.

Di tangan Stevin tepatnya tahun 1619, Batavia dirancang menjadi kota bebas banjir dengan garnisun lengkap dan kanal-kanal serta parit dan tembok kota.  

Mengadopsi pembangunan kota-kota di Belanda, Stevin membabat Ciliwung yang berkelok-kelok menjadi terusan lurus yang langsung mengarah ke laut. Hasilnya, kali besar membelah kota menjadi dua bagian dan banjir teratasi.

Satu hal yang luput dipikirkan Coen adalah pesatnya pertumbuhan kota yang belakangan gagal dikendalikan. Endapan lumpur membuat terusan mampet dan justru memicu banjir baru. Bukan hanya itu, penyakit mematikan Malaria juga turut serta menghampiri.

Tak sampai di situ. Hanya berselang tiga tahun sejak pembangunan, tahun 1621, Venesia dari Timur itu kembali dilanda banjir. Akhirnya ide Stevin gagal total ketika banjir besar melanda pada 1654 dan terus bertambah besar sejak saat itu.

Batavia yang dirancang JP Coen gagal mengatasi banjir dan mulai ditinggalkan. Penduduk bergeser ke wilayah selatan yang lebih tinggi di Weltevreden di sekitar Lapangan Banteng. Puncaknya kota lama benar-benar ditinggalkan ketika Herman Willem Daendels secara resmi memindahkan ibukota Hindia di tempat itu tahun 1830.

Sedikit berbeda dengan kota lama yang ditinggalkan, Kali Ciliwung yang membelah kawasan Kampung Pulo di timur dan Bukit Duri, jpada era 80-an bisa disebut primadona bagi para warga Jatinegara maupun luar Jatinegara menikmati keindahan dan kejernihan Kali Ciliwung. Kala itu, para warga masih bisa menikmati udara sejuk dan ikan yang menari-nari.

Namun, karena letaknya dekat dengan pasar Jatinegara atau pasar Mester yang dari dulu merupakan urat nadi perekonomian Batavia, seiring berjalannya waktu dan semakin ramainya kegiatan ekonomi di kawasan tersebut, banyak warga yang bekerja di Pasar Mester memilih tinggal di kawasan Kampung Pulo karena letaknya sangat dekat dengan pasar.

Dimulailah babak baru bagi tumbuhnya rumah-rumah hingga ke bantaran kali. Seperti yang sudah-sudah, warga di daerah tersebut terkena imbasnya meluap Kali Ciliwung.

Hingga sekarang, tepatnya 2014. Jika disimak, bangunan-bangunan bergaya khas zaman Belanda masih terpampang menghiasi jalan-jalan sepanjang Jatinegara maupun Kampung Pulo. Namun, pemandangan jernih dan udara sejuk serta bau yang semerbak itu sudah tak nampak lagi. Bahkan banjir 80-an terasa semakin besar, tak terkecuali di wilayah Kampung Pulo RT 003 RW 04.

Pemandangan kiri-kanan sepanjang bantaran kali Ciliwung tampak tak layak untuk dihuni. Warna air yang sudah coklat kehitaman, dengan tanah merah yang selalu menempel di sepanjang jalan di kala tergenang, serta ratusan sampah yang kerap selalu ada, tentu menjadi timbul pertanyaan, apakah para warga di sana memang terpaksa bertahan atau memang seenang dengan keadaan seperti itu.

Salah satu warga Reni (40) mengaku nyaman dengan keadaan seperti itu. Bahkan ia tinggal sejak kecil hingga mempunyai anak satu. Jodoh pun ia dapatkan di tempat tersebut.

Wanita berusia 40 tahun itu mengaku sudah terbiasa dengan banjir. Rumahnya yang bertingkat dua itu sengaja dikosongkan di lantai bawahnya. "Paling cuma dipel. Udah bertahun-tahun seperti itu, daripada repot angkat dan pindah lagi ke atas," ujar dia.

Hal yang sama dialami Heni. Wanita paruh baya berusia 56 tahun itu mengaku betah tinggal di tempat itu. Bahkan rumah di depannya yang sudah banyak sampah, tak membuatnya merasa tidak nyaman.

Namun begitu, Heni mengaku sudah lama tidak menggunakan air Kali Ciliwung untuk kebutuhan rumah tangganya. Dia rumah berukuran 6x6 itu, Heni membuat tempat mencuci di samping halamannya. "Ya mau nggak mau, nyuci piring, baju ya di sini. (Air) Di belakang sudah nggak bisa (dipakai) lagi," jelas dia.

Meski begitu, warga masih berharap pemerintah dapat mengembalikan kenangan Ciliwung yang bersih dan airnya dapat dinikmati oleh masyarakat luas.

"Kalau dipindah, semua punya sejarah semua. Tapi dipindah ke rusun, kata pemerintah ini buat kebaikan bersama. Saya cuma berharap Ciliwung seperti zaman saya kecil lagi saja, bisa dipakai mandi," kata warga Suhelmi. (Ali)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya