Alasan MK Tolak Uji Materi Pemberhentian Kepala Daerah

Permohonan soal berhentinya kepala daerah oleh pemohon tidak memenuhi syarat formal permohonan dalam UU MK.

oleh Oscar Ferri diperbarui 22 Jan 2015, 23:43 WIB
Diterbitkan 22 Jan 2015, 23:43 WIB
News Flash Edisi 3 Maret 2014
Ancaman Perang Membayangi Ukraina - 4 Calon Hakim MK Ikuti Uji Kelayakan dan Kepatutan - Pemilik Panti Asuhan Samuel Jalani Pemeriksaan - Ratusan Buruh Kembali Berdemo - Sebuah Helikopter Mendarat Darurat di Kabupaten Siak, Riau.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 29 ayat 1 dan ayat 3 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Mahkamah menyatakan, permohonan tersebut tidak jelas maksud dan tujuannya.

"Mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (22/1/2015).

Dalam pertimbangannya, MK menimbang, permohonan perkara Nomor 34/PUU-XII/2014 yang dimohonkan oleh Erwin Erfian Rifkinnanda itu kabur. Sehingga permohonan itu tidak memenuhi syarat formal permohonan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 huruf a dan Pasal 31 ayat 1 UU MK. Maka itu, MK tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan pemohon.

Mempertimbangkan dalil-dalil permohonan pemohon, MK juga menilai, permohonan tersebut tidak jelas maksud dan tujuannya. Di satu sisi pemohon menginginkan agar siapa pun yang dipilih oleh rakyat menjadi kepala daerah harus menyelesaikan tugasnya secara sempurna, terkecuali dengan alasan yang tidak terhindarkan atau alasan yang merupakan hal yang tak terelakkan.

"Namun di sisi lain, pemohon menginginkan Pasal 29 ayat 1 dan ayat 3 UU Pemda dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.

Dengan demikian, seandainya sebagian dalil pemohon tersebut benar dan permohonan dikabulkan oleh MK justru hal yang diinginkan oleh pemohon terkait mekanisme pemberhentian kepala daerah, menjadi tidak ada norma yang mengaturnya. Artinya, antara posita dengan petitum permohonan pemohon tidak sejalan.

Selain itu, pemohon juga dinilai tidak menjelaskan secara rinci mengenai kerugian konstitusional pemohon akibat berlakunya undang-undang a quo. Padahal MK dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan telah memberikan nasihat mengenai hal tersebut.

"Mahkamah telah memanggil pemohon secara sah dan patut untuk hadir dalam persidangan 28 April 2014, namun ternyata pemohon tidak hadir untuk menyampaikan perbaikan permohonannya," tandas Adams.

Sementara pemohon menilai, berlakunya Pasal 29 ayat 1 UU Pemda telah merugikan secara konstitusional. Karena dalam pasal itu memungkinkan kepala daerah dan atau wakil kepala daerah meninggalkan kewajiban, dan tugas yang telah diamanahkan oleh rakyat pemilih, demi mengejar ambisi pribadi dirinya dan kelompok partainya. Keinginan dan harapan rakyat pemilih untuk memajukan bangsa dan negaranya melalui program kerja pemerintah daerah menjadi tidak sepenuhnya terlaksana, karena kepala daerahnya tidak ada.

Sedangkan Pasal 29 ayat 3 dinilai merugikan konstitusinal pemohon, karena kepala daerah yang ingin mengundurkan diri harus menyampaikan pengunduran dirinya kepada DPRD. Seharusnya, kepala daerah berkewajiban menyampaikan niat pengunduran diri tersebut langsung kepada rakyat melalui mekanisme referendum atau penentuan pendapat rakyat. (Rmn/Ado)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya