Kepala BNP2TKI: Ada WNI di Arab Saudi Dihukum Mati karena Sihir

Dugaan praktik sihir menjadi salah satu kasus yang menjerat WNI di Arab Saudi dan dijatuhi hukuman mati.

oleh Silvanus Alvin diperbarui 30 Apr 2015, 16:46 WIB
Diterbitkan 30 Apr 2015, 16:46 WIB
Kunjungi Liputan6.com, Nusron Wahid Bahas Masalah TKI
Kepala BNP2TKI, Nusron Wahid saat melakukan sesi wawancara khusus dengan Liputan6.com di kawasan Senayan, Jakarta, Senin (16/3/2015). Kedatangan Nusron untuk membahas sejumlah permasalahan penanganan TKI.(Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - ‎Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid mengungkap beberapa tindakan warga negara Indonesia (WNI) yang menyebabkan mereka dijatuhi hukuman mati. Salah satunya adalah praktik sihir.

"‎Rata-rata yang dijatuhi hukuman mati itu karena membunuh, memperkosa, narkoba, dan sihir," kata Nusron di Kantor Wapres, Jakarta, Kamis (30/4/2015).

‎Nusron menjelaskan, sebagian besar tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Arab Saudi berasal dari Jawa dan Madura. Masyarakat dari etnis tersebut sering dibekali dengan surat bertuliskan doa dan dibungkus dengan kain ibunya.

Benda tersebut dianggap mampu mengusir rasa rindu pada kampung halaman. Namun, masyarakat Arab Saudi menentang hal tersebut karena dianggap sebagai praktik sihir

"Itu dianggap sihir sama mereka (masyarakat Arab Saudi) hukumannya mati. Banyak yang seperti itu," ujar dia.

Ketua Umum GP Anshor itu menuturkan, ‎terdapat 228 TKI yang terancam hukuman mati. Dari jumlah tersebut, paling banyak terdapat di Malaysia dan Arab Saudi. BNP2TKI bersama Kementerian Luar Negeri pun berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan nyawa mereka.

Nusron juga berharap eksekusi mati yang dilakukan pemerintah ‎Indonesia tidak menganggu usaha menyelamatkan nyawa para TKI itu. "Selama tidak membunuh, selama ini masih bisa diselamatkan.‎ Saya enggak tahu setelah hukuman mati narkoba (efeknya seperti apa)," tutur Nusron.

Untuk dimaafkan di Arab Saudi, perlu iming-iming uang diyat. Pemerintah berjanji untuk membantu mengadvokasi pihak keluarga, sekaligus membayar uang diyat.

"Biasanya kalau untuk dimaafkan kan harus diiming-iming diyat kan. Dengan demikian mau tidak mau kita harus membantu advokasi pada pihak keluarga, yang bayar sebenarnya bukan pemerintah, tapi keluarga yang membunuh. Masalahnya, mereka miskin jadi pemerintah membantu," ucap Nusron.

Sistem Baru

Wakil Presiden Jusuf Kalla sedang mengkaji sistem baru penyaluran TKI yang lebih‎ baik. ‎Sistem yang baru akan mencakup kelembagaan penyaluran TKI yang lebih tertata, sumber daya manusia atau TKI yang kompeten dan model penempatan yang baik.

‎Nantinya, kontrak kerja TKI tidak dilakukan dengan individu, melainkan dengan perusahaan. Bila mau mencari TKI, pengguna jasa mendatangi perusahaan, bukan individu.

"Jadi tadi kami diskusi bagaimana kontraknya tidak dengan individu tapi kontrak dengan perusahaan, oleh perusahaan ditransfer ke user. Usernya ke rumah tangga. Jadi majikannya perusahaan, hanya jasanya rumah tangga. Gaji dan kontrak dengan perusahaan," jelas Nusron.

Sistem baru ini akan dibahas lintas kementerian. Jusuf Kalla yang akan memimpin pembahasan ini. ‎"Kalau saya nggak pas, masa ngundang Menaker (Hanif Dhakiri), Menlu (Retno Marsudi), kan nggak pantes. Kalau dari pimpinan kan enak," tandas Nusron. (Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya