Hasto PDIP: Polemik Tempat Lahir Sukarno Tanda 'Kehausan' Sejarah

Menurut dia, seluruh cita-cita politik pembebasan atas dasar nilai Pancasila dapat terwujud jika sejarah ditempatkan pada sejarah.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 07 Jun 2015, 12:34 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2015, 12:34 WIB
Konferensi Pers PDIP Jelang HUT ke-42
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memberikan keterangan pers menjelang HUT ke-42 PDIP di Jakarta, Jumat (9/1/2015). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Salah sebut tempat kelahiran Presiden pertama RI Sukarno oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjadi perbincangan. Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menilai ‎polemik atas kesalahan yang dibuat oleh tim komunikasi presiden itu merupakan tanda 'kehausan' rakyat atas kebenaran sejarah, khususnya tentang Bapak Bangsa, Bung Karno.

Menurut dia, seluruh cita-cita politik pembebasan atas dasar nilai Pancasila dapat terwujud jika sejarah ditempatkan pada sejarah yang sebenarnya.

"Berbagai polemik yang kurang produktif tersebut harus diubah menjadi positif, yakni prakarsa aktif pemerintah untuk meluruskan sejarah bangsanya. Pelurusan sejarah Bung Karno, realitas yang tak bisa ditunda," kata Hasto kepada Liputan6.com di Jakarta, Minggu (7/6/2015).

Tanpa berdamai dengan masa lalu, lanjutnya, Indonesia tidak akan bangkit menjadi bangsa besar. "Inilah momentum untuk mengobarkan kembali martabat dan kehormatan bangsa dengan kembali pada ide, pemikiran, gagasan dan perjuangan Bung Karno," tutur Hasto.‎

Mantan anggota Komisi VI DPR ini menilai Bung Karno tidak hanya dicintai rakyat dan masuk dalam sanubari rakyat Indonesia. Bung Karno ada di setiap jejak sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa.

"Dedikasi hidupnya benar-benar dipersembahkan untuk bangsa dan negara. Terbukti bahwa ide, cita-cita, gagasan dan perjuangan Bung Karno selalu hidup dan tidak bisa ditenggelamkan oleh berbagai proyek 32 tahun desoekarnoisasi," papar Hasto.

Dia melanjutkan, apa yang diajarkan Bung Karno sudah berbeda dengan realitas akhir-akhir ini, ketika kekuasaan lebih sering dijadikan alat mobilisasi kekayaan daripada membangun peradaban politik antipenjajahan.

"Sebagai contoh adalah sila ke-5 Pancasila. Itu merupakan sila yang sangat progresif dengan cita-cita keadilan sosial. Keadilan dalam ranah politik, ekonomi dan kebudayaan. Keadilan sosial yang membuat negara harus berpihak pada kaum miskin dan membebaskan kemiskinan sistemik yang kembali menjelma sebagai penjajahan baru di bidang ekonomi," tandas Hasto. (Bob/Ado)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya