Bawaslu Dukung MK yang 'Muluskan' Politik Dinasti Incumbent

Dalam amar putusannya, MK "memuluskan" praktik politik dinasti oleh petahana atau incumbent.

oleh Oscar Ferri diperbarui 09 Jul 2015, 05:35 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2015, 05:35 WIB
KPU dan Bawaslu Persiapkan Pilkada Serentak pada 2015
Dalam acara tersebut, hadir seluruh komisoner KPU dan komisioner Bawaslu, Jakarta, (21/10/14). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi ‎Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (UU Pilkada)‎. Dalam amar putusannya, MK "memuluskan" praktik politik dinasti oleh petahana atau incumbent.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Muhammad, mengakui potensi maraknya dinasti politik di daerah akibat putusan MK tersebut. Namun, yang terpenting adalah stakeholder terkait mampu mengawal dan menegakkan hukum.‎

‎"Kekhawatiran itu ada. Tinggal para pihak ini melakukan upaya-upaya pengawalan dan penegakan hukum tentunya kalau ada masalah hukum, sehingga tidak jadi masalah," ujar Muhammad usai pembukaan acara Sentra Penegakan Hukum Terpadu Pilkada Serentak di Jakarta, Rabu 8 Juli 2015 malam.

Muhammad menambahkan, pihaknya mendukung putusan MK itu. Sebab, jika petahana tak diberi kesempatan membuka peluang keluarga atau kerabatnya maju dalam pilkada, potensi masalah akan lebih besar lagi.‎ "Pasti akan lebih besar permasalahannya."

Mahkamah Konstitusi (MK) "memuluskan" praktik politik dinasti yang dilakukan petahana atau incumbent. Hal itu sebagaimana tertuang dalam amar putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (UU Pilkada).

MK menilai, pembatasan calon Kepala Daerah yang memiliki hubungan dengan petahana atau incumbent telah melanggar konstitusi.‎ Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa idealnya demokrasi melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik. Meski pembatasan dibutuhkan untuk menjamin kuota pemegang jabatan publik agar sesuai dengan kapasitas kapabilitas, hal tersebut tak boleh mencegah hak konstitusi.
‎
MK menilai, Pasal 7 huruf r UU Pilkada yang mengatur pembatasan calon Kepala Daerah mengandung muatan diskriminasi. Terutama ‎frasa "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana".

Diskriminasi itu bahkan diakui oleh pembentuk undang-undang, di mana pasal itu memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas status kelahiran dan kekerabatan seorang calon kepala daerah dengan petahana.‎

"Dengan demikian, Pasal 7 huruf r bertentangan dengan Pasal 28 j ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Tampak nyata pembedaan dengan maksud untuk mencegah kelompok, atau orang tertentu untuk menggunakan hak konstitusi, hak untuk dipilih," ujar Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar, saat membacakan amar putusannya.

Permohonan uji materi ini diajukan seorang anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Adnan Purichta Ichsan. Dia menilai aturan dalam pasal itu telah melanggar konstitusi.

Adapun Pasal 7 huruf r berbunyi: "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut; tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."

Pasal tersebut merupakan ketentuan dari Pasal 7 yang berbunyi: "Yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan adalah antara lain, tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan." ‎(Ali/Nda)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya