Pakar Hukum: Jokowi Tidak Dapat Info Utuh Pasal Hina Presiden

Margarito menilai, Jokowi merupakan sosok yang tidak anti-terhadap kritikan atau masukan.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 06 Agu 2015, 06:40 WIB
Diterbitkan 06 Agu 2015, 06:40 WIB
Jokowi
Presiden Jokowi (foto: Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah kembali mengusulkan pasal penghinaan presiden ke dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Usulan ini pun menuai berbagai reaksi dari sejumlah kalangan.

Apalagi pasal penghinaan presiden dalam KUHP pernah dibatalkan ‎Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006, karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

‎Pakar hukum tata negara Margarito Kamis menyatakan, usulan pasal penghinaan presiden sudah ada sejak Joko Widodo belum menjadi Presiden.

"Pasal ini dapat saya duga bukan hasil kreasi beliau (Jokowi) sendiri. Rancangan pasal ini kan sudah tuntas jauh sebelum beliau jadi presiden," ujar Margarito saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu 5 Agustus 2015.

"Jadi ini boleh jadi beliau tidak mendapatkan informasi yang utuh (soal pasal hina presiden) dari pembantu-pembantunya hingga lolos ke sana (DPR). Sehingga beliau seakan-akan teledor," sambung dia.

Mantan staf khusus Menteri Sekretaris Negara ini melihat Jokowi sebagai sosok yang tidak anti-terhadap kritikan atau masukan. Sekali pun kritikan itu berupa ejekan. Hal itu sudah biasa Jokowi alami sejak masih menjabat sebagai Walikota Solo, Jawa Tengah dan Gubernur DKI Jakarta.

‎"Mengapa saya berkesimpulan begitu? Karena beliau menyatakan sendiri bahwa beliau biasa diejek dan dihina sejak menjadi walikota hingga gubernur. Jadi beliau sudah terbiasa dengan soal begitu dan tidak ada yang dipidanakan karena hal itu," tandas Margarito.

‎Salah satu alasan diusulkan kembali pasal hina presiden ini, kata dia, lantaran jabatan itu dianggap sebagai simbol negara. Padahal berdasarkan Pasal ‎36 UUD 1945 dinyatakan bahwa simbol negara adalah Garuda Pancasila, bukan presiden.

Pasal hina presiden juga pernah disampaikan mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie. Ia menyatakan, saat itu pasal hina presiden dihapus MK karena dianggap inkonstitusional.

Kendati, ‎kata Jimly, bukan berarti presiden bisa dihina atau diolok-olok seenaknya. Jika presiden merasa dirinya dihina, maka sebagai warga negara, Presiden dapat melaporkannya kepada pihak kepolisian.

"Penghinaan itu tidak boleh kepada siapa saja, apalagi seorang Presiden. Tapi seandainya seorang Presiden merasa dihina, maka yang terasa dihina itu adalah individu pribadi, bukan institusi Presiden. Kalau (seorang) Presiden merasa dihina ya dia bisa mengadu ke polisi," pungkas Jimly. (Mvi/Rmn)
‎

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya