Liputan6.com, Jakarta - Kekhawatiran akan mobilisasi birokrasi dalam Pilkada serentak 2015 diungkapkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman. Apalagi dalam catatan KPU ada total 228 petahana atau kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masih menjabat kembali maju pada Pilkada serentak.
"Dalam catatan kami jumlah petahana ada 228 orang. Di daerah asal ada 171, di daerah lain ada 20. Yang mencalonkan di daerah asal, potensi politisasi birokrasi tentu lebih besar," kata Arief dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 10 September 2015.
Jumlah itu belum termasuk Sekretaris Daerah (Sekda) yang turut maju menjadi calon kepala daerah ataupun wakil calon kepala daerah. Sebab, Sekda yang maju tidak masuk dalam definisi petahana.
Advertisement
"Di beberapa tempat ada Sekda yang mencalonkan jadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Tapi definisi kita yang disebut petahana adalah kepala daerah dan wakil kepala daerah," ucap dia.
Namun, Arief melihat peluang politisasi birokrasi tetap ada oleh Sekda. Bahkan, justru pemobilisasian birokrasi di pemda yang dilakukan Sekda berpotensi paling tinggi.
"Peluang melakukan politisasi birokrasi ada Sekda juga dalam pandangan saya. Sesungguhnya birokrasi paling tinggi di pemerintahan adalah Sekda," ucapnya.
Pasangan Pecah Kongsi
Catatan berbeda dikeluarkan lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif. Menurut Ketua Kode Inisiatif, Very Junaidi, Pilkada serentak 2015 ini diikuti 173 calon petahana dari seluruh calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang ada.
Rinciannya, petahana calon walikota ada 21, calon wakil walikota (11), calon gubernur (3), calon wakil gubernur (2), calon bupati (84), dan calon wakil bupati (52). Dari total itu, 168 petahana ini kembali maju di daerah yang sama, 3 petahana naik ke tingkat provinsi dan 2 petahana ada juga yang mencalonkan diri di daerah lainnya.
Jika data petahana itu diklasifikasikan berdasarkan soliditas pasangan kepala daerahnya, maka diperoleh 2 kelompok, yakni pasangan yang tetap solid dan pasangan pecah kongsi. Pasangan yang tetap solid dan kembali maju sebagai satu pasangan berjumlah 21 pasangan, sedangkan kepala daerah yang pecah kongsi dan berhadap-hadapan dalam pilkada 2015 ini 34 pasangan.
Meski demikian, Kode Inisiatif tetap melihat bahwa peluang birokrasi dikerahkan untuk kepentingan petahana sangat terbuka lebar. Dari data-data itu, Kode Inisiatif menilai perlunya memetakan potensi munculnya politisasi birokrasi, penggunaan fasilitas negara dan penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pemenangan.
"Hal ini penting untuk dipotret, sebab dalam pilkada sebelumnya pola demikian banyak terjadi. Bahkan kasus-kasus ini menjadi dasar bagi MK memerintahkan diselenggarakan pilkada ulang maupun pemungutan dan penghitungan suara ulang," kata Very.
Tarik Menarik Dukungan
Dari pemetaan petahana tersebut, potensi politisasi birokrasi, penggunaan fasilitas negara, dan penyalahgunaan wewenang untuk pemenangan bisa terjadi di 5 varian posisi petahana dalam Pilkada.
Pertama, di daerah yang kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi. Kedua, di daerah yang kepala daerah dan wakilnya kembali maju dalam satu paket. Ketiga, kepala daerah atau wakil yang melawan kepala daerah atau wakil yang berasal dari daerah lain. Keempat, kepala daerah atau wakil melawan kandidat non-petahana. Kelima, kepala daerah dan wakil yang tidak lagi mencalonkan diri namun keluarganya maju sebagai calon kepala daerah dan wakil.
"Daerah yang kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi, maka potensi pelibatan birokrasi akan sangat kuat. Karena kepala daerah bisa menggunakan pengaruhnya, begitu juga dengan wakil kepala daerahnya," ucap Very.
Akibatnya, akan terjadi tarik menarik dukungan yang sangat kuat di internal birokrasi dalam pemerintahan daerah. Di sini tetap ada plus dan minusnya.
"Keuntungannya, masing-masing kandidat akan saling kontrol agar birokrasi tidak saling digunakan. Atau justru sebaliknya, keduanya menggunakan kekuatan birokrasi dan saling tidak mengganggu," ujar Very. (Ado/Ron)