Liputan6.com, Jakarta Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti menilai, dalam proses sidang etik di Mahkamah Kehormatan Dewan DPR kemarin, Menteri ESDM Sudirman Said dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin seakan menjadi tersangka.
"Ini suatu yang aneh. Selalu ditanya motif mereka merekam. Orang merekam disebut itu sebagai kejahatan. Disebarluaskan dan membuat gaduh. Justru yang gaduh adalah teman-teman DPR," ujar Ikrar di Jakarta, Jumat (4/12/2015).
Menurut peneliti senior itu, bagian dari penyadapan itu bermacam-macam, dan bukan hanya merekam.
"Nguping saja itu penyadapan. Melalui CCTV juga bisa. Kalau itu disebut melanggar, bagaimana dengan orang DPR yang punya CCTV, kemudian terekam orang yang berniat jahat kepada dirinya terus melaporkan, apakah ini melanggar hukum?" ujar Ikrar.
Baca Juga
Dia menduga ada upaya MKD menggiring pembicaraan yang dilakukan Setya Novanto, Maroef, dan pengusaha Riza Chalid adalah pembicaraan biasa. Padahal menurutnya, upaya melobi bisa dilakukan dengan berbagai cara.
"Yang namanya lobi dan negosiasi, itu tidak selalu serius. Sambil makan-makan, minum-minum. Mengapa MKD tidak masuk isi pembicaraan itu," tutur dia.
Karena itu, ujar Ikrar, di sinilah harusnya MKD dan DPR harus menunjukan taringnya dalam membela publik. Jangan sampai saat pengambilan voting di MKD untuk menentukan nasib Setya, justru jawabannya tidak selaras dengan apa yang dikehendaki publik.
"Kalau MKD gagal, negara kalah dengan mafia," pungkas Ikrar.
Dalam 2 kali persidangan, beberapa anggota MKD mempertanyakan motif Sudirman dan Maroef merekam pembicaraan dengan Setya Novanto. Bahkan, ada yang menyebut itu merupakan bagian dari jebakan.