Liputan6.com, Jakarta - Meski sempat terancam tertunda karena beberapa anggotanya sibuk di persidangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), akhirnya Komisi Hukum DPR memilih 5 dari 10 nama untuk duduk di kursi pimpinan KPK untuk 4 tahun ke depan. Mereka berasal dari berbagai latar berbeda, mulai dari penyidik kepolisian yang berstatus perwira tinggi, hakim ad hoc, dan juga akademisi.
Pemilihan menggunakan mekanisme voting. Sepuluh nama mengerucut menjadi 5 nama. Setelah diperoleh, 5 nama yang akan memimpin KPK, selanjutnya komisi memilih Ketua KPK. Sama dengan mekanisme sebelumnya, pemilihan dilakukan dengan cara voting.
Baca Juga
Advertisement
Baca Juga
Adapun hasil perolehan suara 10 calon pimpinan tersebut adalah, Agus Rahardjo: 53, Brigjen Basaria Panjaitan: 51, Alexander Marwata: 46, Laode Syarif: 37,Saut Situmorang: 37.
Sementara 5 nama lainnya yang terlempar dari perolehan suara adalah, Surya Tjandra: 0, Sujanarko: 3, Johan Budi SP: 25, Busyro Muqoddas: 2, Robby Arya Brata: 14.
Wakil Ketua Komisi III Benny K Harman menjelaskan, pengambilan keputusan dilakukan melalui mekanisme musyawarah mufakat. Apabila dengan musyawarah mufakat tidak tercapai maka keputusan akan dilakukan dengan cara voting.
Benny berpandangan, dari 10 Capim KPK yang sudah menjalani fit and proper test, mereka memiliki komitmen, pemahaman, dan memiliki pengetahuan yang luas soal korupsi.
Pencarian capim KPK ini melalui proses panjang. Presiden Joko Widodo membentuk tim pansel yang beranggotakan 9 srikandi pencari pendekar antikorupsi. Mereka menerima 600 pendaftar yang diseleksi menjadi 194 orang hingga mengerucut kepada 8 nama.
Menteri Sekretaris Kabinet (Mensesneg) Pratikno usai mendampingi Presiden Jokowi di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis 21 Mei 2015, menjelaskan alasan Presiden memilih pansel Capim KPK diisi oleh perempuan.
"Ini masalah kompetensi, integritas,dan juga keberagaman keahlian. Beliau memilih dari calon-calon yang dipilih banyak pihak," ucap Pratikno.
Nakhoda di Tengah Gelombang RUU KPK
Lima nama telah dipilih Komisi Hukum DPR untuk memimpin KPK Jilid IV. Nama tersebut selanjutnya akan dikirimkan ke Presiden Joko Widodo untuk selanjutnya dilantik untuk masa jabatan 2015-2019. Setelah menjaring lima nama, penjaringan berlanjut mencari Ketua KPK.
Hasil voting memilih Agus Rahardjo sebagai pemimpin dengan perolehan suara sebanyak 44 suara, disusul Irjen Basaria Panjaitan dengan perolehan 9 suara, Saut Situmorang 1 suara, dan Alexander Marwata dan Laode Muhammad Syarif 0.
Dalam uji kepatutan dan kelayakan seperti dilansir Antara, Rabu 16 Desember 2015, Agus menyatakan kurang tepat jika dikatakan target komisi antirasuah adalah untuk menghukum orang.
"Target KPK pasti bukan hanya menyelamatkan uang negara. Kalau targetnya dikatakan menghukum orang juga kurang tepat," kata Agus di hadapan anggota Komisi III.
Agus juga berpendapat perlunya sinergitas KPK dengan penegak hukum lainnya. Dalam hal ini, Agus ingin mengembalikan ruh KPK sebagai trigger mechanism yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Hal senada terkait fungsi KPK juga disampaikan Basaria Panjaitan. Jenderal bintang dua Polri yang saat ini duduk sebagai Staf Ahli Kapolri bidang Sosial Politik menyatakan ada ego sektoral di tubuh KPK dengan penegak hukum lainnya yang berimbas disharmonisasi lembaga.
"Ego sektoral ada karena KPK diberi wewenang yang lebih dibanding penegak hukum lain. Wewenang itu sudah diberikan untuk dia (KPK). Timbul ego sektoral karena orang-orangnya (pegawai) KPK," kata Basaria, Rabu kemarin.
Menurutnya, Ego sektoral itu bisa hilang jika para pegawai KPK mengerti dan laksanakan UU pembentukan KPK. Karena pada dasarnya, kata dia, KPK dibentuk untuk memberdayakan polisi dan jaksa yang dianggap tidak efisien.
"Kalau semua anggota (pegawai KPK) mengerti dan laksanakan UU, saya percaya keributan dan ego sektoral tidak ada," ucap dia.
Basaria sempat menjadi buah bibir di kalangan pegiat antikorupsi. Perempuan kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara, 57 tahun lalu ini disebut-sebut kaki tangan Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Bila ditelisik, Basaria memang pernah duduk sebagai Widyaiswara Madya Sespim Polri selama lima tahun, yang dikomandoi Budi Gunawan selaku Kepala Lembaga Pendidikan Polri.
Dia juga sempat menjadi pro-kontra di kalangan aktivis antikorupsi karena mendukung revisi Undang-undang KPK yang belum dicabut.
Poin revisi yang banyak disebut dan menjadi perdebatan adalah mengenai Surat Perintah Penghentiaan Penyidikan (SP3). Namun, untuk hal satu ini, Basaria menolak untuk merevisi, tapi menjadi penekanan bagi KPK untuk lebih berhati-hati dalam melangkah dan memproses hukum satu kasus. Tidak adanya SP3 merupakan salah satu taring KPK dalam menindak para koruptor, di samping juga penyadapan.
"Lidik agak berbeda dengan KPK. Kalau di KPK 2 alat bukti masuk penyidikan, kalau di polisi itu sudah P21. Jadi, tak mungkin ada SP3 di KPK," kata Basaria di hadapan anggota Komisi III, Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa malam, 15 Desember 2015.
Menurut dia, dalam praktiknya selama ini KPK di setiap penanganan kasus harus benar dan hati-hati dengan kepastian 2 alat bukti. Hal ini yang menjadi acuan dalam penetapan tersangka oleh KPK.
Lain hal dengan Saut Situmorang yang menginginkan revisi dan mendorong adanya SP3. Pertimbangan yang menjadi landasan berpikirnya adalah persoalan manusiawi.
"SP3 ini perlu, tidak manusiawi kalau tidak ada SP3. Lagi pula nanti juga akan ada Dewan Pengawas yang akan mengawasi kan," jelas Saut. Contoh alasan manusiawi yang dilontarkan mantan Staf Ahli Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini adalah Saut mencontohkan, saat KPK tidak memiliki kewenangan SP3, maka lembaga anti korupsi itu tidak bisa menghentikan penyidikan meski tersangka sakit. Dia mengambil contoh kasus Bank Century dengan tersangka Siti Fajriah yang kala itu dalam keadaan sakit.
"Itu saya kenal banget dengan Bu Siti Fajriah, beliau teman saya di kampus. Tapi saat beliau sakit, KPK tidak mencabut statusnya dan tidak menghentikan kasusnya," kata pemilik nama lengkap . Thony Saut Situmorang.
Sementara itu, suara akedemisi dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, yang terpilih menjadi Pimpinan KPK, Laode Muhammad Syarif, berharap KPK ke depan fokus di aspek pencegahan, utamanya di sektor Sumber Daya Alam dengan membangun sinergitas antar lembaga penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan, serta lembaga lainnya termasuk peran serta masyarakat.
"KPK, Polri, dan Kejaksaan harus fokus di sumber daya alam karena banyak yang tidak bisa diperbarui. Kalau habis ya habis. Kerusakan alam, kita dapat banjir dan keringnya, tapi hasil untuk negara kurang," ucap Laode.
Lalu, bagaimana dengan ‘Yang Mulia’ Alexander Marwata yang rela melepas jubah ‘Wakil Tuhan’-nya dan mengabdi di KPK?
Alexander merupakan hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Ada yang menarik dalam pandangan Alexander bila kelak dia memimpin KPK, yaitu menguatkan kualitas dakwaan para koruptor untuk maju di persidangan.
KPK sebagai lembaga yang tidak melakukan SP3 atau pemberhentian penyidikan, harus memiliki dasar yang kuat ketika dibawa ke meja hijau.
"Perkara yang di sidang tipikor dari dakwaan. Kalau dakwaan asal-asalan dengan cara pembuktian yang tidak profesional. Nanti hakim ada mind set, bisa jadi kemunduran, karena perkara yang diajukan KPK seolah-olah KPK tidak bisa buat salah. Saya beberapa kali dissenting, tidak hanya Akil," tutur Alexander, Senin 24 Agustus 2015.
Hakim yang kerap berbeda pendapat dalam memutus perkara ini juga sempat membuat terkejut panel. Selama menjadi hakim ad hoc selama 4 tahun terakhir, dia selalu menempatkan diri sebagai pihak netral. Tidak membela koruptor, tidak juga membela masyarakat.
Terkait hal tersebut, pria yang pernah menjadi auditor forensik selama 20 tahun mengklaim, dia selalu memutus dengan benar, berdasarkan fakta persidangan.
"Contoh Akil kemarin dia coba buktikan asetnya dari hasil usaha perkebunan karet, tambang batu bara, ikan patin dengan kuitansi, tapi tidak ada manajer yang hadir di persidangan," terang dia.
"Pegangan saya fakta di dalam persidangan, tidak bisa pakai opini koran. Masak menghakimi orang yang sudah diberitakan dengan bumbu bombastis itu," ujar Alexander.
Pilihan Rakyat atau Selera DPR?
Mantan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua merasa kecewa dengan proses pemilihan Pimpinan KPK jilid IV. Dia menyebut DPR tidak memilih sesuai kualitas yang dimiliki para calon, melainkan berdasarkan keputusan fraksi masing-masing anggota Komisi III.
Menurut Abdullah, DPR hanya memanfaatkan waktu yang singkat dalam proses uji kelayakan dan kepatutan. Padahal pada tahap ini seharusnya pada legislator Senayan itu memerlukan waktu yang cukup lama demi mendapatkan Pimpinan KPK yang sesuai dengan upaya pemberantasan korupsi.
"Seharusnya Komisi III sudah melakukan fit and proper test sejak 3 bulan yang lalu," ujar Abdullah Hehamahua dalam pesan singkatnya di Jakarta, Rabu 16 Desember 2015.
"Setelah mepet sekarang, anggota DPR hanya memilih calon yang sesuai dengan selera fraksi. Apalagi kalau instruksi dari ketua umum partai," lanjut dia.
Semetara itu, Pelaksana Tugas Ketua KPK, Taufiequrrachman Ruki tidak menampik bahwa pemilihan yang berlangsung di Komisi III nanti tidak akan lepas dari unsur politis.
"Seleksi pimpinan itu sesungguhnya sudah selesai di Pansel (Panitia Seleksi). Mereka (DPR) sedang fit dan proper test, baik di Komisi III apalagi di paripurna itu adalah sebuah proses pemilihan," kata dia.
Namun, yang disesalkan Ruki adalah proses ini berlarut-larut dan bahkan DPR belum memutuskan 5 nama calon Pimpinan KPK yang nantinya akan diserahkan ke Presiden Joko Widodo. Padahal, masa kepemimpinan KPK jilid III yang diketuai Abraham Samad sudah berakhir per tanggal 16 Desember 2015i.
"Prosesnya pun politik, voting, sahkan. Mau apa lagi yang dilakukan? Tinggal jalankan saja prosedurnya,” ujar purnawirawan Polri ini.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, keputusan pemilihan calon pimpinan KPK adalah bentuk keputusan dari partai-partai yang ada di DPR yang diatur dalam perudangan.
"Komisi III diberi hak penuh oleh undang-undang, oleh konstitusi untuk menentukan mau dibawa ke mana capim KPK itu, mau ditolak atau bagaimana, silakan nanti dibahas di Komisi III, setelah itu mereka akan dibawa ke paripurna untuk mendapat pengesahan dari paripurna," ujar Fahri di Gedung DPR, Senayan, Selasa 15 Desember 2015.
Fungsi KPK sebagai garda terdepan penindakan atau pencegahan korupsi masih menjadi perdebatan. Beberapa kelompok masyarakat menginginkan KPK tetap dengan taring penindakan dengan tontonan Operasi Tangkap Tangannya. Sementara kelompok lainnya menginginkan KPK mengedepankan fungsi pemberantasannya dengan trigger mechanisam-nya.
Anggota Komisi III Masinton Pasaribu memiliki harapan baru terhadap KPK di tangan pimpinan barunya kelak. Politikus PDIP ini berharap KPK ke depan tidak hanya menampilkan aksi Operasi Tangkap Tangan (OTT) koruptor.
"Sumber daya alam dieksplorasi tanpa memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, artinya pasti ada korupsi di sana. Dan kita hanya disuguhkan OTT, OTT saja," kata Masinton di sela uji kelaikan calon pimpinan KPK Agus Rahardjo, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu 16 Desember 2015.
"Kalau KPK hanya tampil, show OTT, ratusan juta (anggaran penyidikan per kasus) bagaimana," dia menegaskan. Untuk perbandingan, untuk anggaran satu kasus di Polri hanya mencapai Rp 30 juta per kasus, sementara di KPK mencapai Rp 300 juta untuk satu penyidikan.
Selain itu menurut Masinton, model pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK selama ini hanya membawa lembaga yang dibentuk pada masa pemerintahan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri itu berjalan di tempat.
Dia berharap KPK mampu membangun sistem pemberantasan korupsi secara utuh dan kokoh. Di sisi lain, dia meminta seluruh pihak tidak terpaku terhadap masalah penguatan atau pelemahan KPK semata. "Namun berpikir bagaimana fungsi-fungsi penegakan hukum secara keseluruhan dapat berjalan dengan baik," Masinton menjelaskan.
Lima pimpinan sudah terpilih. Biduk pemberantasan korupsi kini ada di tangan 5 ‘pendekar’ tersebut. Akankan Indonesia bebas dari korupsi 4 tahun ke depan?