Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)‎ menerima 1.590 permohonan sepanjang tahun 2015. Permohonan itu meningkat 50 persen dari permohonan pada tahun sebelumnya yang hanya 1.076 permohonan.
‎"Dari 1.590 permohonan yang masuk itu terbagi dalam berbagai macam kasus dengan sebaran wilayah berbeda," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu dalam catatan akhir tahun 2015 di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat, Rabu (30/12/2015).
Edwin menjelaskan, klasifikasi kasus dari jumlah permohonan yang masuk itu antara lain kasus pelanggaran HAM berat sebanyak 1.187 orang, korupsi 106 orang, tindak pidana perdagangan orang (TPPO) 45 orang, terorisme 35 orang, kasus kekerasan seksual terhadap anak 32 orang, tindak pidana pencucian uang (TPPU) 2 orang, narkotika/psikotropika 1 orang, dan tindak pidana umum lainnya 183 orang.
Baca Juga
Untuk sebaran wilayah pemohon, lanjut Edwin, ‎tersebar pada 28 provinsi di Indonesia. Jawa Tengah menjadi daerah dengan jumlah wilayah pemohon tertinggi yaitu 729 orang, Sumatera Barat 335 orang, Jawa Timur 90 orang, Jawa Barat 73 orang, Maluku 62 orang, DKI Jakarta 53 orang, dan 248 orang sisanya berasal dari daerah-daerah lain.
"‎248 itu ada yang dari Banten, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan lain-lain," ujar Edwin.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai menambahkan, dari 1.590 permohonan yang masuk, Rapat Paripurna Pimpinan (RPP) LPSK memutuskan, 1.514 permohonan.‎ Dengan hasil, 1.102 permohonan di antaranya diterima, 315 permohonan ditolak, 62 permhonan diberikan rekomendasi, 31 permohonan diberikan santunan, dan 4 permohonan ditunda.
Semendawai menerangkan, 1.102 permohonan yang diterima itu terbagi dalam beragam kasus. Yakni 837 orang dalam kasus pelanggaran HAM berat, korupsi 43 orang, TPPO 45 orang, terorisme 35 orang, kasus kejahatan seksual teradap anak 25 orang, dan tindak pidana umum lainnya 113 orang.
"Tapi khusus terorisme itu merupakan hal baru bagi LPSK," kata Semendawai.
Semendawai menjelaskan, pemenuhan hak korban kasus terorisme merupakan amanat yang ditambahkan pada UU Nomor 13 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 tahu‎n 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Di mata dia, hal itu merupakan langkah maju karena pada UU Nomor 13 tahun 2006 masih sebatas fokus pada bantuan medis dan psikologis bagi korban pelanggaran HAM berat.
"Pemenuhan hak korban terorisme telah diberikan pada 35 orang yang terdiri 28 korban kasus bom Bali, dan 7 orang korban bom JW Marriott," kata Semendawai.