Liputan6.com, Jakarta - Tidak ada yang aneh dari suasana malam salah satu lobi hotel bintang lima yang terletak di pusat Jakarta itu. Aroma parfum ruangan yang nyaman dan tidak menyengat hidung ditambah sofa empuk dan dinginnya suhu pendingin ruangan makin membuat betah para penghuni ruangan besar itu.
Namun, suasana nyaman itu sepertinya tidak mampu meredakan suhu 'panas' di salah satu sofa lobi itu. Di sana tampak sejumlah politisi daerah dari partai Golkar yang nama dan wajahnya sudah akrab di sejumlah media daerah.
Raut muka kesal dan marah tampak jelas di wajah-wajah 'penguasa' Golkar daerah itu. Pria berpeci hitam, berbatik kuning tampak fokus membaca isi pesan dari telepon genggamnya yang kerap beberapa kali berdering menandakan adanya panggilan telepon.
Ternyata ada satu hal yang membuat mereka kesal dan marah. Yakni pernyataan Ketua DPP Golkar hasil Munas Riau, Nurdin Halid mengaku mendapatkan laporan dari seorang pengurus DPD II mengenai politik uang jelang pemilihan ketua umum dalam Munaslub Partai Golkar yang bakal digelar dalam waktu dekat ini. Â
"Pernyataan ini tidak harus keluar di media. Ini kesannya kami Golkar di daerah memanfaatkan Munas ini untuk ajang minta duit. Pernyataan ini jelas tidak elegan," ujar salah satu ketua DPD II Golkar yang tidak ingin namanya disebutkan.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh pria berjas hitam dan berkemeja putih. Dia menilai, pernyataan seperti inilah yang bisa merusak citra Golkar. Harusnya sekelas pengurus DPP bisa menjaga pernyataannya. Apalagi di media.   Â
"Niat kami dari daerah datang silaturahmi ke Jakarta itu demi Golkar. Kita di daerah berharap Golkar bisa solid. Karena tidak semua pengurus DPD di daerah itu, kerjanya minta-minta uang," tegas Ketua DPD dari Sumatera itu.
Permainan politik uang dalam suksesi partai-partai besar di Indonesia seperti sudah menjadi rahasia umum. Dalam munaslub 2016 saja sudah bereda kabar yang menyebutkan bahwa ada calon yang sudah menyiapkan dana jutaan dolar AS untuk bisa meraih kursi ketua Umum Golkar. Â
Tinggi harga suara di Golkar itu, diduga karena ada beberapa pengusaha yang juga elite partai itu yang berambisi merasakan empuknya kursi Ketum partai beringin yang saat ini masih diduduki oleh Aburizal Bakrie.  Â
"Ya pengurus Golkar di daerah juga sudah bisa membaca. Siapa calon yang akan jor-joran menggelontorkan uangnya. Sedikit banyak mereka tahu, seberapa kuat amunisi Setya Novanto, Nurdin Halid, Idrus Marham, Aziz Syamsuddin dan Ade Komaruddin," ujar pengamat Founding Fathers House (FFH) Dian Permata. Â
Namun, Dian optimistis Golkar adalah partai tua yang diisi oleh politikus ulung dengan jam terbang yang tidak perlu diragukan lagi. Tentunya, mereka para pemilik suara DPD I dan DPD II akan menghitung lebih jauh siapa yang layak dan mampu memimpin Golkar.
"Artinya, DPD I dan II juga tidak melulu melihat faktor 'amunisi' atau 'gizi' tapi juga akan melihat siapa calon yang bersih dan peduli dengan Golkar daerah. Mereka juga enggak mau kalau ketua umumnya saat memimpin Golkar tapi diganggu kasus hukum," papar Dian.
Baca Juga
Â
Ini Modusnya  Â
Lalu berapa nominal yang saat ini sudah beredar di bursa caketum Golkar untuk satu suaranya?
Ketua DPP Golkar hasil munas Riau, Nurdin Halid mengaku mendapatkan laporan dari seorang pengurus DPD II mengenai politik uang jelang pemilihan ketua umum dalam Munaslub Partai Golkar.
Menurut Nurdin, pengurus DPD II tersebut mengaku akan diberi S$ 10.000 atau sekitar Rp 950 juta jika memberikan surat dukungan kepada seorang bakal calon.
Sayangnya, Nurdin tak mau mengungkapkan identitas pengurus DPD II ataupun caketum yang dimaksud. Sebab, saat ini belum ada bukti kuat atas pengakuan itu.
Bendahara Umum Golkar Bambang Soesatyo juga mendengar kabar soal bagi-bagi dolar jelang pemilihan calon ketua umum. Mulai dari senilai Rp 5 juta hingga Rp 1-2 miliar.
"Kalau soal rumor, saya juga mendapat informasi ada caketum yang bagi-bagi uang mulai Rp 5 juta hingga US$ 20.000 dan menjanjikan Rp 1-2 miliar untuk satu suara saat pemilihan nanti. Entah benar entah tidak namanya juga rumor atau informasi," ujar Ketua Komisi III DPR itu.
Kabar itu pun, dibenarkan beberapa politikus Golkar, baik yang menerima laporan langsung atau yang memang mengetahuinya.
"Saya dengar begitu, tetapi susah dibuktikan. Tapi isunya meluas," kata Juru Bicara Poros Muda Partai Golkar Andi Sinulingga kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (19/2/2016).
Andi pun membocorkan beberapa modus yang dilakukan para caketum itu.
"Modusnya itu mulai dari rapimnas kemarin itu karena ada calon mendorong untuk terlaksananya munas. Kemarin rapimnas ada yang menolak dan mendukung lalu bagi-bagi uang ke DPD-DPD, 10 ribu dolar AS. Dalam pertemuan itu dengan bagi-bagi uang," ujar dia.
Kemudian lanjut Andi, dengan makin dekatnya musyawarah nasional banyak calon yang mengumpulkan para Ketua DPD di suatu tempat dan memberikan arahan agar pada saat munas mereka memilih sang calon.
"Saat kumpul-kumpul itulah dia membagikan uang," lanjut Andi.
Lalu modus lainnya adalah menggalang surat dukungan dari para Ketua DPD yang menyatakan bahwa daerahnya mendukung calon tertentu sebagai ketua umum.
"Surat-surat dukungan itu berbau money politics karena berbau transaksional, biasanya orang yang dapat surat dukungan itu dibayar," ujar dia.
Gerilya Politik
Advertisement
Â
Â
Meski tanggal dan tempat digelarnya Munas belum ditentukan dan bahkan panitianya belum juga dibentuk, namun hampir semua calon sudah bergerak untuk meminta dukungan rekomendasi pencalonan dari DPD 1 dan DPD II sebagai syarat utama untuk maju menjadi ketua umum.
Ketua DPP Golkar Ade Komaruddin yang saat ini menggantikan Setya Novanto sebagai Ketua DPR karena bermasalah dengan Majelis Kehormatan Dewan (MKD), sudah mulai melakukan safari politik.
Di sela-sela kesibukanya, Akom menyempatkan hari Sabtu dan Minggu untuk menyambangi kader Golkar di daerah. Hal ini dilakukan agar agenda pribadinya tidak mengganggu waktu kerja di DPR.
Akom dalam setiap kunjunganya, mengatakan perlunya Golkar membangun relasi dan posisi politik yang produktif dengan pemerintah. Dimana, titik tekannya adalah hubungan itu harus menempatkan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara pada skala prioritas utama.
"Harus ada sinergi untuk menciptakan iklim politik yang kondusif dan stabil sehingga proses kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan dengan baik," ujar Ade disela-sela silaturahmi dengan pengurus DPD Golkar di Jawa Tengah dan Sumatera Barat, Sabtu (20/2/2012).
Namun, menurut Ketua DPR yang akrab disapa Akom ini, sinergi bisa dilakukan jika Golkar mampu bangkit dan kembali solid setelah didera konflik internal berkepanjangan.
"Kita butuh kebersamaan dalam menghadapi situasi saat ini. Kita perlu untuk terus membangun soliditas partai dalam semangat rekonsiliasi, dan melupakan semua perbedaan, perselisihan, dan perpecahan yang pernah ada. Sehingga jalannya organisasi Partai Golkar berjalan solid," tegas Akom.
Tak lupa Akom selalu menyampaikan rasa terima kasihnya atas kesempatan yang diberikan Aburizal Bakrie untuk menjadi Ketua DPR RI. Sehingga dirinya didukung penuh oleh semua fraksi pada saat prosesnya.
"Itu keberuntungan yang saya punya dibanding yang lain," ujar Akom.
Sementara Setya Novanto yang saat ini duduk sebagai Ketua Fraksi Golkar dan Aziz Syamsuddin sebagai sekretarisnya juga dikabarkan, sama-sama sedang menggalang dukungan di tingkat bawah.
Meskipun sedang tersandung kasus dugaan pemufaktan Jahat yang tengah ditangani Kejaksaan Agung, Setya Novanto menyatakan tetap akan maju sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar.
"Ya tentu pasti sudah ada dukungan yang diberikan DPD I, saya minta doa," kata Novanto, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, (15/2/2016).
Dalam kasus permufakatan jahat, Novanto bersama pengusaha minyak Riza Chalid diduga meminta saham kepada Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dengan mengatasnamakan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Kasus ini awalnya ditangani oleh Mahkamah Kehormatan Dewan berdasarkan aduan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.
Rekaman yang menunjukkan Novanto dan Riza meminta saham kepada Maroef sudah diperdengarkan dalam sidang MKD.
Keterangan dari Sudirman, Maroef, dan Novanto juga sudah didengarkan. Sebanyak 17 anggota MKD menyatakan Novanto melanggar kode etik, yang membuatnya mengundurkan diri dari kursi Ketua DPR.
Kasus ini pun berlanjut ke ranah hukum. Namun, Kejagung terus mengusut kasus ini meski belum ada tersangka yang ditetapkan.
Novanto meyakini dirinya tidak bersalah sehingga tidak mau terganggu dengan kasus yang menjeratnya itu.
"Hal yang terpenting saya tidak pernah melanggar hukum, tidak pernah melakukan permintaan saham dan mencatut presiden. Itu sudah disampaikan Kapolri, itu sudah tidak ada lagi," ucap Novanto.
Terancam Molor dan Kisruh
Politisi senior Golkar Hajriyanto Y Tohari menilai, penyelenggaraan musyawarah nasional (munas) partai berlambang beringin ini tidak akan terlaksana pada Maret mendatang. Sebab, belum ada pembentukan panitia munas hingga saat ini.
"Saya belum terlalu yakin, Munas akan berlangsung Maret tahun ini, karena sampai hari ini belum mendengar pembentukan panitia Munas, baik penyelenggara, panitia pengarah, maupun panitia pelaksana," kata Hajriyanto.‎
"Jika munas digelar Maret, sekarang saja sudah 21 Februari, mustahil dapat diselesaikan dalam waktu satu bulan," imbuh Hajri.‎
Pembentukan panitia dalam munas dianggap penting karena perlunya pembahasan untuk tata tertib pemilihan ketua umum baru. "Ya pertama dan penting itu panitia munasnya dulu," kata Hajri.
Hajriyanto juga mengaku, dirinya sangsi munas terselenggara tepat waktu karena belum terselesaikan dualisme kepengurusan di tingkat DPD I dan DPD II sebagai pemegang suara. Karena mereka masih terpecah akibat buntut dualisme antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.
"Belum lagi mengatasi persoalan krusial menyangkut dualisme kepengurusan tingkat DPD yang akan memiliki suara di Munas. Ini akibat dualisme DPP yang kemudian masing-masing membentuk DPD," ujar Hajriyanto.
‎Namun, Potensi kisruh kembali membayangi Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar yang rencananya akan digelar dalam waktu dekat ini.
Karena secara diam-diam DPP Golkar di bawah Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie melakukan pelantikan pengurus DPD Golkar di Lampung, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Â
"Bisa saja pelantikan itu diklaim sah karena dilakukan oleh pengurus DPP Golkar hasil Munas Riau yang SK-nya sudah diperpanjang Pemerintah. Hanya saja, untuk bisa dilakukan pelantikan, ada sejumlah syarat lain," ujar Politikus Senior Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa, kepada liputan6.com, Rabu (17/02/2016)
Agun menjelaskan, syarat pelaksanaan Musda itu harus mendapat izin dari tingkat kabupaten/kota hingga provinsi untuk memilih pengurus DPD terkait. Kedua, ada unsur DPP Golkar di pusat yang merupakan perpanjangan tangan partai untuk melakukannya.Â
"Siapa unsur DPP Golkar yang ditugaskan? Pesertanya siapa? Ini rawan gugatan. Kita harap ditinjau ulang. Karena rawan gugatan," kata Agun.
 DPD I dan II adalah pemilik suara terbesar dalam munas Golkar. Posisi mereka akan sangat menentukan siapa yang bakal menjadi ketua Golkar berikutnya.
Berdasar informasi, kata Agun, Nurdin lah yang mengklaim diri menjadi wakil DPP Golkar untuk melantik pengurus daerah Golkar di Lampung, NTB, dan Bali.
"Dia mengaku sebagai OKK. Padahal dia cuma Ketua pemenangan pemilu untuk Sulawesi," imbuh Agun.
Menurut Agun, sesuai SK Kemenkumham, DPP Golkar hasil Munas Riau bertugas membentuk panitia menyelenggarakan munas yang demokratis, berkeadilan, dan rekonsiliatif.
"Seharusnya peserta munas nanti adalah pengurus DPD Golkar eks Munas Riau, artinya yang sebelum konflik. Mereka ini ada yang sudah di-Plt-kan karena melawan kebijkan Ical. Ini yang rawan menggugat," ungkap Agun.
Agun menyarankan, hal itu harus diselesaikan lebih dulu oleh Ketua DPP Golkar bidang Organisasi, yakni Mahyuddin. Karena dikhawatirkan bisa memabuat ksiruh di Munas.
"Dualisme DPD harus selesai. Jangan sampai bikin kisruh di Munas. Jadi memetakan mana saja DPD Golkar sebelum konflik internal yang berhak jadi peserta Munas. Nah untuk daerah yang bermasalah, itu yang harus di-musda-kan," imbuh Agun.
Kalau tak dibereskan, yang terjadi di Munas nanti adalah keributan karena semua kelompok berebut ingin jadi peserta Munas.
"Kita harus sepakat, supaya masalah kepesertaan ini diselesaikan melalui pleno yang bahannya dilakukan Ketua bidang OKK, dalam hal ini Mahyuddin. Bukan Nurdin Halid," jelas Agun.