Liputan6.com, Jakarta - "Nggak bisa nyabu sekarang, barang lagi langka," ucap K, mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jakarta Barat, memulai obrolan.
K yang ditemui Liputan6.com, Rabu (20/4/2016) dini hari di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat ini dikenal sebagai penghubung antara pelanggan dengan pengedar narkoba.
K memang menjadi ujung tombak transaksi narkoba. Jika tak dapat restu mahasiswi 26 tahun ini, tak akan ada satu pun pengedar yang akan melayani.
"Sekarang semuanya harus hati-hati, banyak yang cepu (informan polisi) soalnya," ujar dia.
Menurut K, sejak aparat gencar merazia, terlebih ada anggota polisi yang tertangkap tangan membawa sabu, pemasaran sabu di Kemanggisan dan Kembangan tersendat.
Jika calon pembeli tetap ngotot dan ingin memperoleh sabu, para pecandu harus membayar hingga 3 kali lipat dari harga biasanya. Itu pun tak menjamin transaksi bakal aman.
"Nggak bisa lagi pakai harga lama, nggak ada yang mau ambil risiko," tutur K.
K menolak dirinya terlibat jaringan atau sebagai pengedar sabu. Dia berkilah, dirinya cuma membantu bagi para pecandu narkoba yang membutuhkan.
"Kasihan mereka, susah dapat barang," kata dia.
K menyatakan, di kawasan Kembangan, Meruya, dan Kemanggisan banyak pecandu narkoba yang membutuhkan. Mereka sekarat, akibat kecanduan zat kimia berbahaya nan mematikan itu.
Beragam Motif
Baca Juga
Dari belasan pecandu, pengonsumsi, hingga mereka yang baru pulang rehabilitasi yang berhasil diwawancarai Liputan6.com, mengaku mengonsumsi narkoba sebagai pelarian. Selain itu untuk menambah percaya diri, hingga sebagai upaya melupakan peliknya hidup.
"Saya merasa tak dihargai, tak dianggap. Apapun yang dikerjain, pasti dipandang sebelah mata sama mereka (orangtua)," ujar Bagus, yang baru keluar dari lembaga pemasyarakatan beberapa bulan lalu, akibat tertangkap tangan mengonsumsi narkoba di kosan temannya.
Advertisement
Baca Juga
Lain halnya dengan B, pria 26 tahun yang masih menjalani rehabilitasi itu diciduk polisi, saat berpesta narkoba bersama lima temannya.
Mahasiswa jurusan manajemen ini, sudah memakai sabu sejak awal kuliah. Ia sangat membutuhkan barang haram itu untuk eksistensi dirinya.
"Sekarang udah nggak lagi, tapi kadang masih sering rasa, pengen itu muncul lagi," ungkap B di rumahnya.
Para pengonsumsi narkoba itu, rata-rata merasa tak diterima di lingkungan sosialnya. Baik itu di kalangan keluarga maupun lingkungan pertemanan. Awalnya, coba-coba dan pelarian, namun berakhir dengan kecanduan akut.
Saat mengonsumsi narkoba, baik itu jenis kimiawi seperti sabu, putau, ekstasi, happy five, inex, dan heroin, atau pun jenis herbal misalnya ganja, mushroom, dan opium, mereka mendapatkan perasaan yang berbeda.
"Kalau udah ngebaks (memakai ganja), bawaannya adem, nggak ada masalah. Tapi itu cuma sesaat doang, entar kalau udah nggak fly lagi, nyesel," ungkap Kur, pemuda 25 tahun yang kini masih dalam masa rehabilitasi.
Lain halnya dengan sabu, pengonsumsi tak akan merasa melayang. Tapi, merasa lebih berenergi, tak lapar, lebih percaya diri, agresif. Tapi mereka tak terlalu ingat apa alasan mereka melakukan sesuatu.
"Nggak tahu kenapa, pinginnya ngeseks mulu, padahal udah keluar masuk kamar hotel, udah abis banyak. Udah nggak ke kontrol lah, itu bener-bener gila," kisah Riz, pemuda 23 tahun yang baru dua kali mencoba sabu dari temannya.
Dari penelusuran Liputan6.com di tiga kawasan tersebut, peredaran narkoba tertata dengan rapi, rapat, dan tak sembarang orang bisa membeli.
Para pengedar mempunyai jaringan yang sulit terendus aparat. Bahkan, dari mereka banyak yang mengedarkan narkoba di kompleks-kompleks milik pemerintah di sekitar kawasan tersebut.