Liputan6.com, Jakarta - Di tengah masih maraknya kasus korupsi, tugas hakim, yang disebut-sebut sebagai wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan di mata hukum, sangatlah vital.
Sebut saja, hakim Artidjo, yang berani memperberat hukuman Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum hingga Sutan Bathoegana, atau hakim Albertina Ho yang piawai dalam mengadili kasus Muhammad Nazaruddin.
Namun kiprah dua pendekar hukum itu tercoreng, setelah dua hakim ketua Pengadilan Negeri Kepahiang Bengkulu, Janner Purba, dan Toton hakim adhoc tipikor Bengkulu, tertangkap tangan menerima suap di awal pekan ini. Â
Advertisement
Jika selama ini publik sudah terbiasa melihat pejabat, wakil rakyat, maupun pengusaha yang tertangkap tangan memberi dan menerima suap, kini hakim yang seharusnya menjadi wasit ikut dalam sebuah permainan kotor.Â
Baca Juga
Pada 23 Mei 2016, Janner Purba dan Toton menerima uang suap Rp 150 juta, pemberian kesekian kalinya dari terdakwa korupsi honor dewan pembina rumah sakit.
Sehari setelah ditangkap, kedua hakim bersama tiga tersangka lainnya langsung diterbangkan ke kantor KPK di Jakarta, dengan diwarnai kericuhan antara jurnalis dan aparat keamanan. Operasi tangkap tangan itu pun kembali membuat publik geleng kepala.
Sejak 2008, di pemerintahan SBY, aparat penegak hukum, dimulai dari hakim, mulai menerima remunerasi dengan harapan meningkatkan kinerja dan menghindari suap.
Disusul kepolisian dan pegawai hankam yang menerima remunerasi di tahun 2010. Setahun kemudian giliran para jaksa yang mendapat tambahan penghasilan.
Pasca-dimanjakan dengan remunerasi, trio penegak hukum, polisi, hakim dan jaksa, tak lantas antiuang sogokan.
Jika materi yang masih tak tercukupi, para penegak hukum baiknya mengikuti jejak dua polisi Bripka Seladi dan Aiptu Mustamin, yang mencari uang tambahan dengan memulung dan menambal ban.
Saksikan selengkapnya dalam rangkuman Kopi Pagi (Komentar Pilihan Liputan 6 Pagi) yang ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Minggu (29/5/2016), berikut ini.