Mabuk Kepayang Hakim Kepahiyang

Di kawasan Pegunungan Bukit Barisan, Provinsi Bengkulu, berdirilah sebuah kabupaten bernama Kepahiang.

oleh Moch Harun SyahYuliardi Hardjo PutroOscar Ferri diperbarui 25 Mei 2016, 00:09 WIB
Diterbitkan 25 Mei 2016, 00:09 WIB
Ilustrasi Orang Mabuk
Ilustrasi Orang Mabuk. Ilustrasi: freepik

Liputan6.com, Jakarta - Di kawasan Pegunungan Bukit Barisan, Provinsi Bengkulu, berdirilah sebuah kabupaten bernama Kepahiang. Daerah itu terkenal dengan buah yang memabukkan.

Buah itu bisa bikin siapapun seakan mabuk kepayang. Kabarnya biji buah tersebut sangat beracun karena mengandung asam sianida.

Buah itu berasal dari pohon kepahiang alias kluwek. Dahulu, orang-orang menyebut efek buruk memakan biji buah tersebut dengan mabuk kepahiang. Lama-lama mabuk kepahiang berubah menjadi mabuk kepayang.

Istilah mabuk kepayang ternyata erat kaitannya dengan buah kluwek. Mengapa demikian? (wikipedia.org)

"Buah kepahiang atau kluwek ternyata tidak sembarangan bisa diolah. Bila dimakan mentah-mentah, maka pemakannya dipastikan akan mabuk berat alias teler," tutur peneliti dari Lembaga Riset dan Kajian Sosial Budaya, Hidi Christopher, di Bengkulu.

Kini tak cuma biji buah kepahiang yang bikin mabuk. Uang pun bisa. Seperti kisah hakim dari Kepahiang, Janner Purba. Dia duduk sebagai ketua pengadilan negeri setempat sekaligus hakim tindak pidana korupsi Bengkulu.

Cerita Si Hakim

Senin sore, 23 Mei 2016, sang hakim tengah berada di rumah dinas Kepala Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu.

Dia diduga baru saja menerima sejumlah uang 'panas' dari seseorang yang diberikan di suatu tempat di sekitar Pengadilan Negeri Kepahiang.

Ilustrasi vonis hakim. (Fsb.cobwebinfo.com)

Setelah sampai di rumah barulah tamu tak diundang datang. Mereka adalah Tim Satuan Tugas (Satgas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hari itu membekuknya dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT).

Di rumah dinas Janner itu, Tim Satgas mene‎mukan uang Rp 150 juta yang baru saja diterimanya.

Pelaksana Harian Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK Yuyuk Andriati menjelaskan, uang 'panas' itu diberikan oleh mantan Kepala Bagian Keuangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr Muhammad Yunus Bengkulu, Syafri Syafii‎.

"KPK mengamankan uang Rp 150 juta (dalam operasi itu)," ujar Yuyuk di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (24/5/2016).

Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati saat jumpa pers di Kantor KPK, Jakarta, Selasa (24/5/2016). Uang itu diduga suap dari mantan Kabag Keuangan RSUD M Yunus, Bengkulu, Safri Safei. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Setelah transaksi itu, Janner dan Syafri pulang ke kediaman masing-masing. Di rumah masing-masing itu, tim Satgas KPK kemudian menciduk keduanya.

Menurut Yuyuk, uang itu merupakan pemberian kedua. Pada 17 Mei 2016, Janner sudah menerima uang Rp 500 juta dari mantan Wakil Direktur Keuangan RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu, Edi Santroni.‎ Sehingga total uang yang diterima diduga mencapai Rp 650 juta.

Penangkapan diduga terkait dengan kasus korupsi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) M Yunus Bengkulu. Selain Janner dan Syafri, KPK juga menangkap tangan 3 orang lainnya. Mereka, yakni hakim adhoc tipikor PN Bengkulu Toton dan Panitera PN Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy, serta Edi.

Petugas KPK saat memegang uang sitaan sebesar Rp150 juta sebagai barang bukti di Kantor KPK, Jakarta, (24/5/2016).KPK turut menyita uang Rp 650 juta dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Ketua PN  Kepahiang, Janner Purba. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Yuyuk mengatakan, kasus dugaan suap ini terkait dengan sidang perkara dugaan korupsi honor Dewan Pembina RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu di Pengadilan Tipikor Bengkulu. Dalam perkara itu, Syafri dan Edi duduk menjadi terdakwa.

Perkara ini bermula saat Junaidi Hamsyah yang menjabat Gubernur Bengkulu mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor Z.17XXXVIII tentang Tim Pembina Manajemen RSUD Dr Muhammad Yunus Bengkulu. SK itu diduga bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 mengenai Dewan Pengawas.

Berdasarkan Permendagri tersebut, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) tidak mengenal tim pembina. Akibat SK yang dikeluarkannya, negara disinyalir mengalami kerugian Rp 5,4 miliar. Dalam persidangan dengan terdakwa Edi dan Syafri, PN Bengkulu menunjuk tiga anggota majelis hakim, yakni Janner, Toton, dan Siti Insirah.

Suasana di depan ruang pemeriksaan di Reskrim Polda Bengkulu, Senin (23/5/2016) malam, terkait operasi tangkap tangan KPK di rumah dinas Kepala PN Kepahiang. (Liputan6.com/Yulardi Hardjoputra)

Hakim Jadi Tersangka

Seorang hakim tipikor Bengkulu, Henny Anggraini mengaku kaget saat masuk ke ruang kerjanya. Dia melihat sudah ada tanda penyegelan oleh KPK di meja kerja hakim Toton.

Selain OTT, ternyata Satgas KPK juga sempat menyegel meja kerja Hakim Toton, ruang kerja panitera dan hakim tipikor pada Senin malam 23 Mei 2016.

"Ketika masuk ruangan sudah ada tanda penyegelan ini, terkait apa, saya juga belum dapat informasi yang utuh," tutur Henny.

Ilustrasi KPK

Sementara itu, gara-gara OTT KPK ini, sidang terkait korupsi di RSUD M Yunus terbengkalai. Janner dan Toton merupakan hakim perkara tipikor RSUD M Yunus yang seharusnya disidang pada Selasa 24 Mei 2016 dengan panitera pengganti Billy dan terdakwa Syafri dan Edi.

Humas Pengadilan Tipikor Kota Bengkulu Joner Manik mengatakan, jadwal persidangan hari ini terpaksa dibatalkan karena Janner sebagai hakim ketua, Billy sebagai panitera, dan kedua terdakwa yang akan melaksanakan sidang dengan agenda pembacaan vonis terkena OTT KPK.

"Hakim JP sebagai hakim ketua dengan To sebagai hakim anggota dan BD sebagai Panitera dan kedua terdakwa ditangkap KPK, bagaimana mau menggelar sidang," kata Jonner di Pengadilan Negeri Bengkulu.

Saat ini hanya ada satu hakim anggota perkara korupsi tersebut, yaitu Siti Insirah yang rencananya hanya membuka persidangan dan langsung menunda sambil menunggu keputusan KPK terkait status mereka yang ditangkap.

Ilustrasi Sidang KPK (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Tak perlu waktu lama. Hanya berselang 24 jam, KPK menetapkan status tersangka pada kelima orang yang dibekuk dalam operasi tangkap tangan di Bengkulu itu.

Janner dan Toton sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau c atau Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sementara Badaruddin alias Billy yang juga menjadi penerima dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau c atau Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Syafri dan Edi selaku pemberi suap disangka melanggar Pasal 6 ayat 1 atau pasal 6 ayat 1 huruf a atau b dan atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

"Setelah melakukan pemeriksaan 1 x 24 jam, KPK melakukan gelar perkara dan memutuskan meningkatkan status ke penyidikan sejalan dengan penetapan kelimanya sebagai tersangka," ucap Yuyuk.

Terbang ke Jakarta

Ilustrasi KPK (AFP Photo)

KPK lalu menerbangkan keenamnya dari Bengkulu ke Jakarta. Mereka dibawa keluar dari ruang Dit Reskrim Polda Bengkulu menggunakan bus Sabhara dan dikawal ketat satuan Brimobda Detasemen Gegana serta Satuan Antibandit dan Huru Hara Polda Bengkulu bersenjata lengkap, satu unit barracuda, satu mobil penyapu jalan, dan dua sepeda motor milik Sabhara.

Mereka meninggalkan Mapolda Bengkulu pukul 08.45 WIB dan langsung menuju Bandara Fatmawati Soekarno dan diterbangkan ke Jakarta menggunakan pesawat Garuda yang lepas landas pada pukul 09.15 WIB menuju Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.

Ketua PN Kepahiang, Bengkulu berinisial JP tiba di gedung KPK setelah dipindahkan dari Bengkulu, Jakarta, (24/5). JP yang juga menjabat sebagai hakim pengadilan tipikor Bengkulu ditangkap tangan di rumah dinasnya. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Sesampainya, keenam orang itu dibawa oleh Tim Satgas menggunakan 6‎ mobil.‎ Keenamnya tiba di KPK sekitar pukul 12.40 WIB. Satu per satu para pihak yang diamankan itu keluar dan masuk ke dalam gedung.

Namun tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut keenamnya. ‎Termasuk Janer yang tugas sehari-harinya sebagai 'wakil Tuhan' ketika mengadili perkara.

Selain menggelandang keenamnya, Tim Satgas juga membawa sejumlah koper dan tas saat turun dari mobil.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya