Liputan6.com, Jakarta - Peredaran vaksin palsu di sejumlah rumah sakit telah membuat para orang tua khawatir terhadap kesehatan anak-anaknya. Mereka takut vaksin yang telah disuntikkan ke tubuh putra-putrinya akan berdampak tak baik bagi kesehatan.
Namun menurut Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Maura Linda Sitanggang, para orangtua tidak usah khawatir terhadap vaksin palsu tersebut. Dampak dari vaksin itu dianggapnya tidak berbahaya.
Baca Juga
"Hasil laboratorium, vaksin ini enggak ada isinya. Ada isinya tapi kadarnya lebih rendah. Artinya, kalau enggak ada isinya, enggak ada efektivitasnya. Kalau kadar kurang, tingkat kekebalan kurang tercapai," papar Maura saat diskusi mingguan bertema 'Jalur Hitam Vaksin Palsu' di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (16/7/2016).
Advertisement
Dia menambahkan, efektivitas vaksin tersebut dapat terlihat dari sisi kekebalan tubuh anak. Untuk memantau perkembangan anak itu, Kemenkes akan melihat kasus per kasus tiap anak yang terpapar vaksin palsu. "Jika perlu imunisasi ulang akan kita berikan," ujar Maura.
Di tempat yang sama, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut bahwa vaksin palsu yang beredar di sejumlah rumah sakit merupakan produk impor, sehingga para orangtua yang memiliki bayi diminta tidak usah resah atas penyebaran vaksin ilegal tersebut.
"Yang dipalsukan itu sementara waktu ini beberapa jenis vaksin impor," ucap Pengurus IDAI Soedjatmiko.
Dia menjelaskan, vaksin buatan dalam negeri selama ini diproduksi oleh PT Biofarma. Stok vaksin tersebut tidak mungkin langka, malah pemerintah kerap menggratiskan vaksin tersebut kepada masyarakat.
"Sejauh yang saya dapat informasi, semua vaksin yang dibuat dalam negeri, produksi Biofarma itu enggak dipalsukan. Suplai banyak, malah murah digratiskan pemerintah," ujar Soedjatmiko.
Ia kemudian menyebutkan sejumlah vaksin produksi PT Biofarma yang tak dipalsukan, yakni vaksin DT (Difteri Tetanus) untuk anak usia di bawah 7 tahun, TT (Tetanus Toxoid) untuk anak dan ibu hamil, vaksin campak serta vaksin BCG.
Sedangkan mengenai dampaknya, lanjut Soedjatmiko, tak terlalu mengkhawatirkan. Namun, hanya kekebalan tubuh si anak yang tidak mendapatkan apa-apa sehingga rawan terserang penyakit.
"Kekebalan yang mestinya (tubuh) kebal malah enggak dapat apa-apa," jelas Soedjatmiko.